Bila mengacu ke Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020, pelanggaran yang dilakukan oleh kedua PTS tersebut di antaranya adalah mengeluarkan gelar akademik pada saat program studi tidak terakreditasi, memberikan ijazah dan gelar akademik kepada orang yang tidak berhak, serta tidak memenuhi syarat pendirian perguruan tinggi. Dua PTS itu berada di lokasi lahan yang sama.
Pada kunjungan tim evaluasi kinerja perguruan tinggi (EKPT) awal April 2023, ditemukan bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan. Termasuk, pengakuan langsung dari pengelola PTS. Pihaknya telah memberikan kesempatan untuk memperbaiki masalah tersebut. Namun, data tak bisa dilengkapi karena proses pembelajaran memang tak pernah terjadi. ”Datanya baru diinput, langsung distatuskan lulus. Tidak ada riwayat akademik,” katanya.
Dia berjanji memfasilitasi mahasiswa dan dosen yang ingin pindah usai kampusnya ditutup. ”Khusus dosen di wilayah saya, kalau memang mau pindah, ya akan kita fasilitasi kalau memang ada PTS yang menerima,” ujarnya.
Bagi mahasiswa yang akan pindah, pihaknya akan melakukan pengecekan data terlebih dahulu. Mulai dari riwayat akademiknya, kartu rencana studi (KRS), kartu hasil studi (KHS), dan lainnya. Pengecekan dilakukan guna memastikan berapa satuan kredit semester (SKS) yang sudah dijalani oleh mahasiswa tersebut. ”Akan kami bantu carikan kampus yang prodinya sama. Intinya, kita upayakan mahasiswa yang betul-betul berproses ini tidak dirugikan,” tegasnya.
Dalam SK pencabutan izin, yayasan yang menaungi dua PTS tersebut wajib mengalihkan/memindahkan mahasiswa ke perguruan tinggi lain yang memiliki program studi dalam rumpun ilmu sama. Yayasan juga harus menyelesaikan masalah akademik dan nonakademik yang timbul sebagai akibat dari pencabutan izin kedua PTS ini paling lama satu tahun. Kemudian, wajib melaporkannya kepada menteri melalui LLDikti wilayah XVI.