FAJAR.CO.ID -- Umat Islam disunahkan melaksanakan ibadah puasa Zulhijjah, Tarwiyah, dan Arafah menjelang Iduladha. Banyak keutamaan atau pahala dari amalan atau ibadah pada awal Bulan Zulhijjah.
Lantas, bagaimana hukum bila melakukan hubungan suami istri di malam Iduladha? Melansir NU Online dari penjelasan Ustaz HIkmatul Luthfi bin KH Imam Syamsudin, berdasarkan fikih, berhubungan suami istri pada malam hari raya atau malam lainnya adalah halal mubah.
Kecuali, ada dalil yang mengharamkan untuk melakukan hubungan suami istri, seperti pihak istri dalam keadaan haid atau nifas seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 222, atau sedang dalam keadaan berpuasa (Al-Baqarah: 187), atau sedang Ihram haji dan umrah (Al-Baqarah: 197).
Dalam kitab Al-Majmu’ dijelaskan:
"Dalil untuk menanggapi argumentasi semua pendapat di atas adalah seperti yang dikemukakan Ibnu al-Mundzir bahwa berhubungan badan hukumnya boleh, karena itu kita tidak bisa melarang dan memakruhkannya tanpa dalil. ( Al-Majmu’ Juz. 2, h. 241)
Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj mengatakan:
قِيلَ يَحْسُنُ تَرْكُهُ لَيْلَةَ أَوَّل الشَّهْرِ وَوَسَطِهِ وَآخِرِهِ لِمَا قِيلَ إنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُهُ فِيهِنَّ وَيُرَدُّ بِأَنَّ ذَلِكَ لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ شَيْءٌ وَبِفَرْضِهِ الذِّكْرُ الْوَارِدُ يَمْنَعُهُ
“Dikatakan bahwa bagus jika meninggalkan berhubungan badan pada malam awal bulan, pertengahan, dan akhir bulan, dengan disebutkan bahwa setan itu datang pada malam-malam tersebut. Namun ungkapan ini ditolak dengan sebab tidak adanya dalil yang tsabit sedikit pun, dan kewajiban membaca doa sebelum berhubungan badan itu akan dapat mencegah keburukan setan (Tuhfatul Muhtaj, Juz 3h. 187).
Sementara jika menggunakan perspektif tasawuf, memang banyak riwayat yang menyatakan larangan hubungan suami istri pada malam hari raya, malam awal, tengah dan akhir bulan. Hal ini dikemukakan kitab Qurrotul ‘Uyun, Fathul Izar. Juga dalam kitab Ihya’,:
وَيَكْرَهُ لَهُ الجِمَاعُ فِي ثَلَاثِ ليَالٍ مِنَ الشَّهْرِ الأَوَّلِ وَالْأخِرِ وَالنِّصْفِ يُقَالُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ الْجِمَاعَ فِي هذِهِ الليَالِي ويُقَالُ إِنَّ الشَّيَاطِيْنَ يُجَامِعُوْنَ فِيْهَا
"Makruh bagi seseorang berhubungan badan di tiga malam tiap bulannya yaitu awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan’, dikatakan bahwa setan hadir jimak pada malam-malam ini dan dikatakan bahwa setan-setan itu berjimak di malam-malam tersebut (Ittihaf Sadat al-Muttaqin Syarh Ihya ‘Ulumiddin, Juz. 6 h. 175).
Larangan berhubungan suami istri pada tiga malam tiap bulan hanya sampai pada makruh, tidak pada haram. Bisa jadi yang memakruhkan hubungan suami istri pada malam-malam yang disebutkan tadi berdasarkan pada seharusnya malam-malam tersebut digunakan untuk beribadah.
Pada malam hari raya, umat Islam diperintahkan untuk berdoa, sebab pada malam tersebut merupakan waktu diijabahnya doa. Pada malam hari raya juga seharusnya diisi dengan takbir dan zikir.
Pada kitab Qutul Qulub disebutkan makruh berhubungan awal malam:
“Makruh jimak di awal malam lalu ia tidur dalam keadaan tidak suci, sesungguhnya roh itu naik ke arasy, maka siapa di antara roh-roh itu yang suci tidak sedang junub dia diizinkan sujud di arasy, sementara roh yang sedang berjunub itu tidak diizinkan ke arasy” (Abi Thalib al-Makki, Qutul Qulub, Juz. 2, h. 424).
Kemudian, bagaimana hukum bermesraan dengan suami atau istri saat menjalankan ibadah puasa Zulhijjah, Tarwiyah, dan Arafah?
Memang, menjelang Hari Raya Iduladha, umat Islam disunahkan melakukan puasa Zulhijjah, Tarwiyah, dan Arafah. Puasa Zulhijjah adalah puasa sunnah pada 1 hingga 7Zulhijjah.
Puasa Tarwiyah dilakukan pada 8 Zulhijjah dan puasa Arafah dilaksanakan pada 9 Zulhijjah atau satu hari sebelum Iduladha.
Melansir laman bimasislam.kemenag.go.id, bermesraan dengan istri saat berpuasa Ramadan, puasa Zulhijjah, puasa Tarwiyah dan puasa Arafah, hukumnya adalah makruh. Bermesraan itu baik berciuman, mandi bersama, dan lainnya.
Jika suami atau istri berpuasa, dianjurkan untuk tidak bermesraan hingga datangnya waktu berbuka puasa.
Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan:
Disunahkan bagi orang berpuasa untuk meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan syahwat yang dibolehkan dan tidak membatalkan puasa, mulai dari kenikmatan yang berhubungan dengan pendengaran, penglihatan, persentuhan, dan penciuman, seperti menciumbunga, menyentuhnya dan memandanginya.
Karena hal itu termasuk kesenangan yang tidak sesuai dengan hikmah puasa. Semua itu hukumnya makruh, sebagaimana makruh memasuki pemandian.
Namun demikian, jika suami berpuasa dan kemudian bermesraan dengan istrinya, selama hal itu tidak mengeluarkan mani, maka puasanya tetap sah, tidak batal.
Namun jika hal itu menyebabkan keluar mani, maka puasanya menjadi batal.
Bermesraan dengan ciuman, saling pegang dan lainnya, tidak membatalkan puasa selama belum keluar mani. Jika mani keluar, maka puasanya menjadi batal.
Syaikh Hasan Hitou dalam kitab Fiqhush Shiyam menjelaskan, jika seorang suami mencium istrinya dan dia sedang ber puasa, kemudian merasa nikmat dan terdapat madzi, namun tidak mengeluarkan mani, maka jumhur berpendapat puasanya tidak batal, dan itu adalah pendapat ulama Syafiiyyah tanpa ada perbedaan di antara mereka. (fajar)