FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Pendiri Kawan Perubahan (Indonesia Timur) Irvan Basri merespon pernyataaan politikus senior PDI Perjuangan Panda Nababan yang menyebut Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai anak ingusan, nanti besar kepala, dan perlu belajar lagi.
Irvan melihat pernyataan tersebut sebagai sikap reaksioner buta. "Bang Panda, mengabaikan fakta dan konteks zaman," kata Irvan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/6/2023).
Bagi Irvan, itu bukan hanya serangan politik ke Gibran, tapi juga ke serangan politik ke kaum muda Indonesia. Ribuan politisi muda ada di Parlemen DPR RI hingga DPD RI, Struktur Partai, dan anggota DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota.
"Gibran ini Walikota Solo. Bukan anak ingusan, tapi anak Pak Jokowi. Bekerja dan mengabdi sepenuh waktu untuk masyarakatnya. Juga punya banyak pengalaman, bukan hanya di politik tapi juga di pemerintahan," ungkapnya.
Menurut Ibas, sapaan akrabnya, seharusnya Mahkamah Konstitusi putuskan syarat umur minimal 30 tahun. Sebab, umur minimal Anggota DPD dan DPR RI saja hanya 21 tahun.
"Dunia berubah cepat. Mayoritas pemilih tahun depan, kaum milenial. Mereka punya cara yang khas menilai figur pemimpin. Gibran mewakili segmen terbesar dalam Pemilu 2024," jelasnya.
Irvan Basri juga mengingatkan, jika Gibran tak sendiri. Kerjanya akan dibantu tim dan jejaring nasional yang telah dibangun secara mandiri selama ini.
Sebelumnya, Panda Nababan menyebut Gibran Rakabuming anak ingusan usai menanggapi diskusi bersama Budi Arie Setiadi tentang putusan MK batas usia presiden jika di bawah 40 tahun.
Perkara pengujian kembali batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Perkara ini dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke Mahkamah Konstitusi.
Pihak pemohon meminta batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden diubah menjadi minimal 35 tahun dengan asumsi pemimpin-pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Sehingga norma ini menurut para Pemohon bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. (*)