Oleh: Sulung Nof*
(Pemerhati Sosial Politik)
PENDAHULUAN
Jajak pendapat (polling) merupakan instrumen survei yang umumnya digunakan untuk mengukur opini publik. Opini publik dipengaruhi oleh beberapa variabel, di antaranya media. Dan media digunakan sebagai alat untuk mempublikasi aktivitas kampanye, baik kampanye produk, sosial, maupun politik.
Dalam dunia demokrasi modern, jajak pendapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran besar calon pemilih dari kandidat tertentu sebagai modal dasar dalam kerja elektoral serta melakukan penetrasi ke basis massa yang diprediksi masih kurang memberikan insentif dukungan suara secara signifikan.
Salah satu metode jajak pendapat yang digunakan lembaga survei saat Pemilu adalah Exit Poll. Jajak pendapat ini dilakukan usai pemilih keluar dari Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan demikian hasil Pemilu dapat diperkirakan lebih cepat untuk disajikan kepada masyarakat tanpa harus menunggu sekian waktu.
Menariknya, jajak pendapat yang saat ini dijadikan alternatif sebagai data pembanding hasil survei dihakimi sebagai hiburan semata. Dalilnya, jajak pendapat dianggap tidak memenuhi unsur metodologi yang ketat dan akurat selayaknya survei. Sehingga para surveyor merasa percaya diri karena para politisi sudah ‘beriman’ dengan hasil survei.
KILAS BALIK
Kilas balik Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 sewindu lalu, hasil survei Anies-Sandi cenderung jeblok dibanding Ahok-Djarot. Namun pada saat yang bersamaan, suara Anies-Sandi lebih unggul dalam jajak pendapat yang difasilitasi oleh sejumlah media massa seperti Medcom, Viva, dan Berita Satu. Mengutip dari Medcom, hasil jajak pendapat melalui akun Twitter @Metro-TV yang diikuti 11.073 pemilih pada Jum’at, 11 Februari 2017, suara Anies-Sandi lebih unggul dengan perolehan 48 persen dibanding Ahok-Djarot dengan raihan 47 persen dan Agus-Sylvi dengan 5 persen.