Dia berpandangan, sebenarnya terbuka peluang untuk menyoal legal standing Para Pemohon yang menguji syarat umur tersebut, sehingga putusannya bisa menjadi "tidak diterima" (N.O.).
Namun lanjutnya, kalaupun dianggap mempunyai kedudukan hukum (legal standing), maka MK seharusnya menolak permohonan, karena soal umur adalah open legal policy, yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, Presiden dan DPR (juga DPD), dalam proses legislasi untuk merumuskannya. Bukan, kewenangan lembaga peradilan, termasuk MK, melalui proses ajudikasi untuk memutuskannya.
Apalagi, dalam sidang 1 Agustus lalu, Presiden Jokowi dan DPR sudah terkesan setuju dengan permohonan, sehingga proses legislative review di Senayan—bukan judicial review di MK, lebih tepat menjadi perumusan norma syarat umur tersebut. Sehingga putusan MK tidak terus dimanfaatkan sebagai alat politik, dan institusi MK terhindar dari politisasi pemilu, khususnya Pilpres 2024.
Dijelaskan, agar tidak terjebak jauh dalam pada kepentingan politik praktis 2024, seharusnya perkara ini bisa diputus lebih cepat, agar tidak menyandera proses pencalonan Pilpres 2024 yang sedang berjalan.
“Amat tidak sulit bagi MK menyerahkan persoalan ini ke proses legislasi, dan paham bahwa tidak ada soal diskriminasi dalam syarat minimal umur tersebut. Sudah amat banyak soal putusan MK yang sejenis, sehingga secara keilmuan, tidak ada alasan untuk menunda memutus perkara ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman yang menjadi perwakilan DPR yang hadir dalam sidang MK tersebut menyampaikan, berdasarkan beberapa putusan MK terkait dengan isu batasan usia menunjukkan telah terbuka ruang bagi yudisial review terhadap norma yang membuat pengaturan mengenai angka penetapan batas usia dalam Undang-undang terhadap UUD 1945.