"Royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan thd eksploitasi sumber daya alam. Ini berlaku umum. Utk Ijin Usaha Industri pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak2 lain (PPh, PPN, Pajak Daerah dll)," jelasnya.
Cuitan Prastowo tersebut pun langsung dibalas oleh Faisal Basri. "Mas Pras, rasanya saya tidak keliru. Yang saya katakan adalah tidak ada pungutan sama sekali untuk ekspor produk smelter seperti diterapkan untuk sawit," ujarnya.
"Royalti dikenakan terhadap penambang yang sebagian besar milik swasta nasional sebesar 10%. Pungutan untuk ferro nikel milik China hanya 2%. Pengusaha tambang bayar pajak badan 22%, pengusaha smelter China bebas bayar pajak badan karena dapat fasilitas tax holiday," imbuh Faisal.
Sebelumnya, Faisal mengkritik hilirisasi nikel yang dibanggakan Presiden Jokowi. Menurutnya, 90% dari keuntungan hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah justru lebih banyak dinikmati oleh China.
Menurut keterangan resmi dari pemerintah dan pelaku bisnis terkait, Faisal menyatakan pada tahun 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya mencapai Rp1 triliun. Meskipun ada ekspor, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang dianggap sebagai akibat dari hilirisasi pada tahun 2022 tercatat sebesar Rp413,9 triliun, yang berasal dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan dengan rata-rata nilai tukar rupiah tahun sebelumnya sebesar Rp14.876 per dolar AS. Pasalnya, sebagian besar smelter pengolah bijih nikel yang dimiliki oleh Indonesia dan China menggunakan sistem devisa bebas.