FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Hari H Pemilu 2024 kian dekat. Tinggal 183 hari. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pun telah menuntaskan pemetaan potensi kerawanan. Salah satunya politik uang (money politic).
Hasil analisa tematis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), dari 34 provinsi, setidaknya ada lima provinsi termasuk dalam kategori kerawanan tinggi.
Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty mengungkapkan, kelima provinsi itu adalah Maluku Utara di posisi puncak dengan skor 100 poin. Lalu, disusul Lampung (55,56), Jawa Barat (50,00), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara (38,89).
Penghitungan poin mengacu sejumlah indikator. Di antaranya, kasus politik uang di pemilu sebelumnya, modus hingga karakteristik pelaku.
Meski hanya lima provinsi yang masuk kategori rawan tinggi, bukan berarti daerah lainnya tidak rawan. Bawaslu mencatat, sebanyak 29 provinsi lainnya termasuk dalam kategori rawan sedang. "Tidak ada provinsi yang masuk kategori rawan rendah politik uang," imbuhnya.
IKP tersebut memberikan gambaran bahwa politik uang menjadi fenomena umum. Terjadi di semua wilayah Indonesia, dengan derajat dan gradasi kasus yang berbeda. Fakta itu menjadi tantangan bersama. Terutama Bawaslu. Selain persoalan regulasi, penegak hukum juga dihadapkan pada kultur masyarakat. Mereka masih menjadikan praktik politik uang itu sebagai hal yang biasa terjadi.
Di tingkat kabupaten/kota, lanjut Lolly, situasi tidak jauh berbeda. Tidak ada satu pun kabupaten/kota yang masuk dalam kategori rendah indeks kerawanan politik uang. Dari 514 kabupaten/kota yang dianalisis, sebanyak 24 kabupaten/kota masuk kategori rawan tinggi.
Posisi teratas diduduki Kabupaten Jayawijaya (100), Banggai (69,49), Banggai Kepulauan (72,86), Sekadau (67,80), dan Kabupaten Lampung Tengah (47,46). "Sebanyak 490 kabupaten/kota sisanya masuk kategori kerawanan sedang terjadinya praktik politik uang," jelasnya.
Sebelumnya, saat menyampaikan sambutan di Pidato Kebudayaan Prof KH Said Aqil Siradj di Gedung Joeang 45, Jakarta, Jumat (11/8) malam, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar juga menyinggung politik uang.
’’Entah yang dalam manajemen politik nasional kita, entah kita punya keterbatasan di berbagai hal yang ada dalam kewarganegaraan,’’ ujarnya.
Yang jelas, lanjut Muhaimini, persaingan politik dalam pemilu dua-tiga periode terakhir menunjukkan bahwa kompetisi yang menghalalkan segala cara telah berjalan di lapangan dengan sangat terbuka.
"Apa yang disampaikan Kiai Said dengan money politic, yang kaya yang berkuasa, yang menang yang punya duit, itu terbukti di lapangan dengan baik," ujarnya.
Politikus alumnus UGM itu pun berseloroh, hari-hari ini wajah-wajah caleg yang kelihatannya miskin pasti masa depannya agak suram. Dia sebagai salah satu yang menginginkan agar banyak aktivis dengan latar belakang ideologis jelas dapat duduk di legislatif, namun sampai hari ini pihaknya ikut prihatin.
"Apalagi kalau di Jakarta. Di Jakarta ini, teman saya yang jadi 3-4 kali itu cost-nya sekitar Rp 40 miliar. Ada yang Rp 20 miliar tidak jadi, Rp 25 miliar tidak jadi. Yang selalu jadi itu yang sekitar Rp 40 miliar," paparnya.
Hal itu menjadi bukti bahwa kompetisi sudah sangat pragmatis. Karena itu, relevansi kembali ke UUD 1945 adalah penegakan seluruh nilai-nilai dari tujuan hidup berbangsa dan bernegara.
Dia menyampaikan itu bukan kepada para politisi, melainkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Bahwa, pada dasarnya memilih pemimpin adalah bagian dari cara bermusyawarah yang tidak ada hubungannya dengan uang atau imbalan.
"Pilihlah berdasarkan keyakinan dan kesepengatahuan dalam memilih pemimpin, baik itu legislatif maupun eksekutif,’’ paparnya. (far/hud/jpg/ham)