”Jadi, ini faktor yang juga memengaruhi kondisi yang terjadi sekarang ini. Sebenarnya itu juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya,’’ terang Ardhasena.
Dari pemantauan yang dilakukan BMKG, kemarau diprediksi terjadi sampai Oktober mendatang. Namun, pengaruhnya terhadap kualitas udara tidak bisa diprediksi. ”Kalau dampak kualitas udara ini mungkin nggak bisa diprediksi sejauh itu,” terang dia.
Dia menegaskan, kekeringan bukan faktor utama turunnya kualitas udara. ”Kekeringan memperparah. Jadi, bukan sumbernya,” tambahnya.
Lantaran kering akibat musim kemarau, tidak terjadi hujan. Alhasil, polutan bertahan di udara. Dengan kondisi saat ini, lanjut dia, penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) agar hujan turun tidak memungkinkan untuk dilakukan.
”Karena sudah kering di atmosfer, sudah nggak ada potensi awan (hujan) lagi,” imbuhnya.
Hal lainnya yang menarik dan perlu dicermati, lanjut Ardhasena, bahwa kondisi kualitas udara juga ada siklus hariannya. Pada saat lepas malam hingga dini hari atau pagi, kualitas udara cenderung lebih tinggi daripada siang hingga sore.
Fenomena lainnya, karena Jabodebek di wilayah urban, saat musim kemarau ada fenomena yang disebut lapisan inversi.
”Jadi, ketika pagi di bawah itu cenderung lebih dingin di permukaan dibandingkan di lapisan atas. Sehingga, itu mencegah udara untuk naik dan terdispersi. Itu juga penjelasan mengapa di Jakarta kelihatan keruhnya di bawah dibandingkan di atas karena setting perkotaan di mana kita hidup bersama,” beber dia.
Atas kualitas udara buruk di Jakarta, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengatakan bakal mengusulkan anggaran pemberian insentif bagi profesi rentan terkena paparan polutan.