FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti sejumlah hal yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraan, pada laporan sidang tahunan MPRI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8) kemarin. Salah satu yang menjadi sorotan terkait kritik yang disampaikan kepada Jokowi.
"Berkaitan dengan kritik kepada pemerintah, pada fakta di lapangan kami juga masih menemukan adanya represi terhadap praktik kebebasan sipil warga negara dalam wujud kriminalisasi dan intimidasi yang diarahkan kepada warga negara yang mengajukan kritik pada kebijakan pemerintah baik dalam ruang konvensional (aksi dan demonstrasi) maupun di ranah digital (doxxing, peretasan, dsb)," kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam keterangannya, Kamis (17/8).
Berdasarkan pemantauan KontraS, sejak Januari 2022-Juni 2023 telah terjadi 183 pelanggaran hak sipil dan kebebasan berekspresi, yang menyebabkan 272 korban luka-luka dan tiga korban tewas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih belum menanggapi kritik warga negara dengan serius, serta terkadang masih memandang kritik warga negara sebagai bagian dari ancaman.
"Kritik yang disampaikan oleh warga negara seharusnya direspon dengan serius sebagai masukan terhadap pemerintah, bukan dibungkam," tegas Dimas.
Dimas menyesalkan, pidato kenegaraan Presiden Jokowi tidak menyinggung agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang kini ingin diselesaikan oleh pemerintah melalui mekanisme nonyudisial. Ia memandang, pemerintah hanya berfokus pada pemajuan ekonomi yang berpusat pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, tetapi belum menjadikan agenda penuntasan Pelanggaran HAM Berat sebagai agenda utama pemerintah.