”Apalagi jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu,” katanya.
Kemudian, dia juga mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab apabila ada kerusakan ataupun kehilangan saat kampanye. Jika dikembalikan ke sekolah, jelas akan membebani sekolah. Padahal, pemilu dan pendidikan anggarannya berbeda.
”Ini seperti anggaran pendidikan dituntut mensubsidi pemilu yang juga sudah ada anggarannya. Karena sudah pasti setiap kerusakan akan ditanggung sekolah,” keluh Iman.
Selain itu, keputusan MK ini juga dikhawatirkan bakal membahayakan kepentingan siswa, guru, dan orang tua. Kegiatan sekolah akan bertambah seperti sosialisasi pemilu hingga kandidat yang kemudian menjadi beban psikologi bagi anak termasuk guru.
”Bayangkan, sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan ortu akan membawa politik partisan ke ruang ruang belajar,” ungkapnya.
Kondisi demikian juga membuat rentan terjadinya bullying di sekolah apabila pilihan politiknya berbeda. Belum lagi, siswa, guru, dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat.
Terpisah, Komisi Pemilihan Umum enggan berpolemik terkait norma tersebut. Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan, pihaknya akan mengikuti aturan hukum yang ada, dalam hal ini putusan MK yang sifatnya final dan mengikat.
Putusan itu, akan dituangkan dalam aturan teknis di Peraturan KPU tentang kampanye. ”Tentunya kami KPU RI akan menyesuaikan aturan kampanye,” ujarnya.