“Biasanya pada anak autis, kita nggak mencari pasti penyebabnya. Pemeriksaan darah, CT Scan, biasanya tidak kita lakukan. Kita langsung masuk ke intervensi untuk penanganannya,” tuturnya.
Untuk penanganan anak-anak autis itu dilakukan tergantung gejalanya. Menurut Prof. Rini, karena autis itu merupakan gangguan perilaku, jadi penanganannya juga harus dengan memperbaiki perilakunya.
Terapinya dilakukan dengan berbagai cara, ada terapi sensor integrasi, ada okupasi, ada terapi wicara, dan terapi perilaku.
“Jadi, ada multifaktor untuk terapinya,” paparnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa yang bisa terjadi pada anak autis itu adalah suka mengalami alergi makanan. Misalnya alergi susu sapi dan alergi makanan laut.
“Tapi, itu juga tidak semua anak alergi itu jadi dikatakan menderita autis,” ucapnya .
Dia mengatakan autis itu bisa dibagi menjadi autis ringan, sedang, dan berat. Untuk mendeteksinya biasanya ditentukan menggunakan perangkat skrining berupa kuesioner yang namanya M-CHAT-R. Anak dengan gejala ada kontak matanya sebentar itu biasanya masuk autis ringan.
Jika gejalanya tidak ada kontak mata tapi anaknya tidak cuek, itu masuk autis sedang.
“Tapi, yang sama sekali cuek dan nggak ada kontak mata biasanya kita masukkan kategori autis berat,” tuturnya.
Ditemui di tempat yang sama, Angel, ibu yang memiliki anak autis bernama Yujin bercerita awalnya putranya ini terlihat masih biasa-biasa saja, di mana milestone-nya sesuai dengan perkembangan buku panduan dokter.
Tapi, saat berusia 1,5 tahun anaknya memiliki keanehan, di mana saat bermain mobil-mobilan sering rodanya dibalikkan jadi ke atas dan suka memutar-mutar rodanya. Fungsi mainan itu tidak dijalankan dengan semestinya.