Oleh karena itu, kata Prof Juanda, saat ini melanggar PPHN belum termasuk wilayah hukum sebelum ditetapkan dan di masukkan ke dalam peraturan perundangan.
"Sekarang kalau kita mau masukkan ketika ada PPHN nanti kalau presiden melanggar PPHN kalau itu belum diatur dalam regulasi hukum tata negara kita bisa saja itu kita anggap impeact alasan politik," ucapnya.
Namun, lanjut Prof Juanda, jika berlandaskan alasan hukum itu artinya ketika seorang presiden dianggap melanggar haluan negara berarti rohnya sudah terbukti melanggar Pancasila sudah terbukti melanggar Undang-Undang Dasar 45.
Prof Juanda juga menuturkan, tahapan memberhentikan presiden berdasarkan hukum juga tidak mudah. Sebab, DPR atau MPR mengajukan proses hukum terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi (MK) jika MK sudah mengeluarkan putusan presiden terbukti bersalah maka DPR dan MPR mengadakan sidang paripurna untuk menghentikan presiden.
"Ketika itu diproses dan terbukti di sidang Mahkamah Konstitusi melalui usulan DPR dan terakhir MPR melakukan sidang maka itu namanya proses hukum boleh tetapi tidak serta merta yang menyatakan melanggar itu hanya MPR, hei you melanggar kau, tidak bisa tidak boleh itu itu politis, tapi harus sesuai prosedur hukum," terangnya.
Selain itu, Prof Juanda juga menanggapi soal usulan Qodari masa jabatan presiden menjadi 5 periode, hal itu bagi Prof Juanda bukan solusi sebagai pengganti PPHN, bahkan berpotensi menjadi sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia.
"Hak setiap warga negara mengusulkan mau 5 periode 10 periode, tetapi saya sendiri berpendapat masa lalu kita sudah pernah praktiknya hampir sama 30 tahun itu sama dengan 25 tahun, karena 5 periode atau lima tahun, satu periode kalau 6 tahun berarti 30 tahun. Masa lalu kita sudah terbukti itu pasti mengembalikan otoritarian dan absolutisme. Itu adalah sebuah kemunduran untuk kita berdemokrasi,” ungkapnya.