"Bahkan, selaku Capres Pro-Perubahan, Anies sendiri belakangan juga tampak semakin gamang dan tidak cukup keberanian untuk mengkritik kebijakan pemerintahan yang ia klaim hendak ia ubah," tegasnya.
Problemnya, lanjut Khoirul, stagnasi elektabilitas Anies dan bergemingnya Nasdem dalam jangka panjang ini betul-betul menjadi “ujian berat” bagi partai-partai pengusung Anies lainnya.
Selain terancam tidak akan mendapatkan efek ekor jas (coat tail effect) dari pencapresan Anies, PKS dan Demokrat kini juga tampak mulai gusar setelah merasakan koalisinya seolah tidak ada kemajuan, tidak ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan di internal koalisi, dan tidak ada keseriusan untuk bergerak bersama.
"Karena itu, munculnya ide penggabungan Ganjar-Anies sebagai pasangan Capres-Cawapres belakangan ini, dipandang sebagai bagian dari “strategi awal pembubaran” Koalisi Perubahan, agar salah satu dari partai yang merasa tidak nyaman itu bisa segera keluar dari koalisi.
"Jika ini terjadi, maka deadlock Koalisi Perubahan sebenarnya bukan semata-mata akibat benturan ego elit partai-partai, tetapi juga akibat dari cawe-cawe tangan kekuasaan yang “mengunci” tangan dan kaki salah satu partai pengusung Anies, sehingga gamang dan tidak siap menghadapi risiko besar pencapresan Anies ke depan.
"Jika Koalisi Perubahan benar-benar masih ingin tampil kompetitif, seharusnya Anies bisa lebih agresif dan berani memecah kebekuan di dalam koalisinya. Sebab, pasca bergabungnya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo, konfigurasi Parpol pembentuk poros koalisi saat ini sudah fase final. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu," pungkas dosen Universitas Paramadina tersebut. (wartaekonomi)