FAJAR.CO.ID -- Konflik Rempang masih jadi pusat perhatian publik. Bahkan, upaya pengosongan paksa pulau itu dinilai sebagai malpraktik kekuasaan.
Sekaitan dengan hal itu, hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak era Joko Widodo hingga Basuki Tjahaja Purnama (2012-2016), hampir selalu menggunakan jasa aparat TNI dan Polri saat melakukan penggusuran paksa.
Pelibatan aparat TNI dan Polri menyebabkan terjadi kekerasan terhadap warga korban penggusuran.
Penelitian LBH Jakarta berjudul "Mereka Yang Terasing" mencatat, 88,2 persen warga korban penggusuran paksa yang diwawancara mengakui aparat Polri terlibat pada proses penggusuran paksa. Sisanya, sebanyak 11,8 persen warga menyatakan sebaliknya.
"Lebih lanjut, 71,4 persen warga mengakui keterlibatan TNI dalam proses penggusuran paksa yang menimpa mereka, sementara hanya 28,6 persen warga yang menyatakan tidak ada keterlibatan aparat TNI," demikian hasil penelitian yang dirilis pada tahun 2016 itu.
Penelitian LBH Jakarta berisi laporan mengenai pemenuhan hak atas perumahan yang layak bagi korban penggusuran paksa di Jakarta yang kini menghuni rumah susun.
Dari hasil wawancara penelitian, LBH menyebut warga merasa terintimidasi dengan kehadiran aparat TNI, Polri, dan Satpol PP dalam peristiwa penggusuran.
Keterlibatan aparat berseragam tersebut juga menghalangi warga untuk menyampaikan aspirasi mereka yang sesungguhnya, padahal warga berharap terjadi dialog yang seimbang dengan pihak pemerintah tanpa ada berbagai bentuk ancaman.