Oleh: Asmirawati Ahmad
(Peneliti, Magister Akuntansi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)
Gaya hidup Frugal dan Climate change
Gaya hidup frugal atau lebih dikenal dengan istilah “Frugal living” menjadi isu yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Istilah frugal living berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kosa kata yaitu “frugal” yang berarti hemat atau sederhana dan “living” yang berarti gaya hidup, sehingga frugal living dapat diartikan sebagai gaya hidup hemat atau gaya hidup sederhana.
Falsafah orang Swedia mengartikan bahwa frugal living ialah lagom atau hidup sederhana, seimbang, tidak kurang atau berlebih, secukupnya, dan pas. Dalam bahasa Makassar dikenal dengan istilah Ganna’ atau sitaba-taba.
Frugal living merupakan kebalikan dari gaya hidup konsumtif atau gaya hidup yang menghambur-hamburkan uang untuk tujuan yang kurang berguna. Frugal living lebih mengedepankan kesadaran dalam berbelanja dan menggunakan sumber daya. Maksudnya adalah gaya hidup ini mengajarkan seseorang untuk berbelanja sesuai dengan kebutuhan dan menggunakan sumber daya kapital atau uang dengan cerdas.
Pandemi covid-19 menjadi salah satu titik balik oleh sebagian masyarakat terkait pentingnya memikirkan dana darurat. Dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian tersebut, kita dilatih untuk mengukur hal-hal yang tidak pasti sehingga harus mempersiapkan diri dari kondisi yang sama yang bisa jadi terjadi di masa yang akan datang.
Jhon white, seorang professor filosofi Pendidikan dalam tulisannya “ The frugal life, and why we should educate for it” menjelaskan bahwa frugal living terdiri dari tiga jenis yaitu frugal living karena terpaksa oleh kondisi perang dunia pada masa lalu, Frugal living karena ingin preferensi atau pilihan untuk hidup sederhana dan frugal living untuk kehidupan generasi mendatang, menghindari climate emergency atau krisis iklim.