FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Menjelang subuh, Andi Amran Sulaiman kecil sudah bangun. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya setiap hari.
Dia memulai ritual paginya yakni berjalan kaki ke sekolah sejauh puluhan kilometer. Sepulang dari sekolah, dia juga berjalan kaki di tengah panas terik. Tiba di rumah, dia tak bisa berleha-leha, sebab harus bekerja serabutan.
Di saat anak-anak lain bermain, dia harus bekerja demi membiayai sekolahnya. Kadang menjadi buruh, berjualan ubi, berjualan ikan, penggembala sapi, hingga menjadi pemecah batu gunung. Namun dia tak pernah mengeluh. Dia melakukan segalanya dengan ikhlas.
Andi Amran Sulaiman lahir pada Sabtu, 27 April 1968 di pelosok Desa Mappesangka, Dusun Bakung'e Kabupaten Bone. Dia anak ketiga dari 12 bersaudara, buah hati Andi B. Sulaiman Dahlan Petta Linta dan ibu Andi Nurhadi Petta Bau.
Bapaknya cuma seorang veteran dengan pensiunan pas-pasan. Jumlah uang pensiun hanya sebesar Rp 116.000 per bulan. Ini jumlah yang jauh dari kata cukup. Namun dia tak pernah menyerah pada nasib. Dia tetap sekolah dan bekerja sembari menanam asa kelak dirinya akan lebih baik di masa depan.
Andi Amran Sulaiman tumbuh jadi anak yang kuat. Di usia muda, dia bertekad untuk tidak kalah dengan segala keterbatasan.
Di usia muda, dia sudah mengenal kata kemandirian. Sebagai pemecah batu gunung, dia sudah pandai menjual batu kepada pemasok bahan bangunan proyek. Dia sudah membantu keluarga untuk menyambung hidup, sekaligus membiayai sekolahnya.
Lulus dari sekolah menengah, takdir membawa langkahnya ke kota Makassar. Di tahun 1988, dia mengalami transformasi. Dari seorang anak kampung yang berprofesi sebagai pemecah batu, kini dia adalah mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.