Apabila menggunakan logika atau penalaran hukum yang wajar, lanjut dia, begitu pola satu ditolak dengan alasan kebijakan hukum terbuka, mestinya pola dua dan tiga sudah ditolak dengan alasan itu pula .
Sebab, ujarnya lagi, pola perkara yang manapun sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk undang-undang (open legal policy).
"Memang untuk pola kedua dan ketiga, MK mendalilkan, bisa ada pengecualian untuk open legal policy yaitu ketidakadilan yang intolerable, tetapi bila dicermati, pokok penalaran-nya bukan ketidakadilan. Kalau soalnya ketidakadilan, bukankah pola pertama juga seharusnya dikabulkan, karena ketidakadilan harusnya juga bisa didalilkan? Jadi pengecualian digunakan sebagai jalan pembuka untuk kemudian membuatkan argumen untuk menjustifikasi syarat substantif untuk menggantikan syarat umur berupa angka," tuturnya.
Bivitri menambahkan bahwa putusan MK tersebut juga memberikan keuntungan langsung kepada Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk ikut berkontestasi dalam pilpres.
"Pertama, Kita bisa ‘membaca’ dengan jelas bahwa yang akan diuntungkan langsung oleh putusan ini adalah Gibran Rakabuming yang memiliki hubungan keluarga dengan Ketua MK. Kedua, bila kita membaca dokumennya, sebenarnya ada satu perkara, yaitu Perkara 90/PUU-XXI/2023 yang menyebutkan nama Gibran sebagai pihak yang diidolakan oleh pemohon sehingga benturan kepentingannya sangat terang," imbuh dia. (antara)