FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Ray Rangkuti mengkritik, langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak merevisi Peraturan KPU (PKPU) terkait batas minimal usia capres-cawapres yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasalnya, MK memutuskan batas minimal usia capres-cawapres 40 tahun atau pernah/sedang menjabat kepala daerah.
KPU tidak merevisi PKPU terkait hadirnya putusan MK itu. Melainkan hanya mengeluarkan surat dinas yang dikirim ke partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019.
"KPU sebelumnya mereka siap melakukan revisi dan melakukannya. Tetapi kenyataannya KPU hanya melakukan dengan cukup memberi surat edaran kepada parpol agar mentaati dan melaksanakan perintah MK," kata Ray Rangkuti dalam diskusi bertajuk 'Pendaftaran Capres Dibuka, Perlombaan Pilpres Dimulai : Ke Mana Arah Politik Jokowi?', Jakarta, Jumat (20/10).
Menurutnya, tindakan KPU tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum. Sebab, syarat pencapres-cawapres berdasar atas Undang-Undang yang tertera dalam PKPU.
"Minimal syarat itu ada di undang-undang dan dibawah UU ada PKPU. Surat edaran itu berlaku hanya untuk internal," tegas Ray.
Ia menegaskan, jika memaksakan hanya dengan surat edaran, maka akan menimbulkan polemik dan berpotensi terjadi gugatan administrasi. Ia khawatir itu akan jadi preseden buruk ke depannya.
"Akan jadi masalah dan digugat dijadikan sengketa. Kita sebut Prabowo calonkan wakil gibran bisa jadi sengketa administrasi. Dasarnya tidak ada di PKPU. Pasti akan merugikan pihak yang mendaftar," ucap Ray.
Oleh karena itu, Ray Rangkuti mendorong KPU segera melakukan revisi PKPU dengan melibatkan DPR. Mengingat, putusan MK itu langsung berlaku pada Pemilu 2024.
"Segera minta bertemu DPR untuk konsultasi revisi PKPU," tegasnya.
Sebagaimana diketahui, KPU menerbitkan surat menindaklanjuti putusan MK yang mengabulkan gugatan perkara batas usia capres-cawapres. Surat KPU itu bernomor 1145/PL.01.4-SD/05/2023 yang diteken oleh Ketua KPU Hasyim Asy'ari, pada 17 Oktober 2023.
KPU dalam suratnya menyampaikan putusan MK langsung memiliki kekuatan hukum tetap, sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
"Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)" demikian isi surat KPU itu. (jpg/fajar)