Gus Raharjo Unggah Poster Kritik Gibran: Atas Nama Anak Muda Hanyalah Framing

  • Bagikan
Cawapres Koalisi Indonesia Maju Gibran Rakabuming Raka saat memaparkan programnya jelang pendaftaran Capres/Cawapres di KPU RI (IST)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA— Kritik terhadap bakal calon wakil presiden (bacawapres) Gibran Rakabuming Raka yang akhirnya bisa ikut dalam kontestasi pilpres 2024 terus mengalir. Putra pertama Presiden Joko Widodo ini banyak dikritik lantaran dianggap telah menabrak konstitusi.

Kritikan terhadap Gibran juga disampaikan aktivis media sosial Septian Raharjo melalui akun Instagramnya gus_raharjo, Sabtu (28/10/2023).

Gus Raharjo mengunggah poster berisi kritikan terhadap Girban yang menabrak konstitusi namun tetap didukung sejumlah pihak dengan dalih ingin memberikan kesempatan bagi anak muda.

“Atas nama 'Anak Muda'hanyalah framing untuk menutupi pelanggaran konstitusi,” demikian tulisan dalam poster tersebut.

Dalam poster tersebut, juga menampilkan tangkapan layar pernyataan kader PSI Ade Armando yang mengunggah quote “Anak Muda Indonesia Jangan Dengarkan Ocehan kaum tua bahwa anak muda tak bisa memimpin bangsa ,” dengan caption JANGAN PERNAH ANGGAP REMEH ANAK MUDA +.

Gus Raharjo menilai banyak pihak yang sengaja ingin mengaburkan fakta bahwa Gibran telah menabrak konstitusi. Memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki ayah dan pamannya agar dirinya bisa maju sebagai bacawapres.

Ada sejumlah pihak yang berusaha membelokan isu dengan membuat framing seolah-olah para pengkirik Gibran tidak ingin dan tidak memberi kesempatan bagin anak-anak muda untuk menjadi pemimpin.

Unggahan Gus Rahajro ini pun mendapatkkan banyak komentar dari warganet. Sebagian besar warganet sepakat dengan yang disampaikan oleh Gus Raharjo. Sejak diunggah, postingan tersebut telah mendapatkan lebih dari 2000 komentar.

Misalnya akun @dinihrdianti yang sependapat dengan pandangan Gus Raharjo. Menurtnya, Gibran justru menjadi contoh buruk bagi generasi muda karena telah menabrak konstitusi, dan mendapatkan jalan secara instan untuk maju di pilpres 2024 dengan bantuan ayah dan pamannya.

“Anak muda tp udh nabrak konstitusi, gimana nanti itu anak muda klo jadi tua nanti ?? Dan apa yg akan ditabraknya lagi ? Anak muda hrs nya menjadi CONTOH bagi anak2 muda lainnya di Indonesia yg hrs punya prestasi, merangkak dr bawah utk mencapai posisi diatas dan punya daya saing. Klo cara nya spt ini, gimana anak2 muda lainnya yg cuma seorang anak dr orang tua yg cuma biasa2 saja..,” tulisnya.

Senada juga dikatakan akun @ariefku2904. Dia juga ikut memberikan kritik kepada Gibran yang telah banyak bersandiwara dan memuat scenario hingga akhirnya bisa lolos sebagai bacawapres.

“Anak muda kok diajari jadi pemimpin dengan cara menabrak konstitusi. Kami muak dengan sandiwara' dan skenario buruk!!!,” ucapnya.

Sementara akun @timoursari ikut mempertanyakan komitmen partai koalisi pendukung Prabowo yang justru memilih kader dari partai politik di luar koalisi. Padahal banyak kader anggota partai koalisi pendukung Prabowo yang berasal dari kalangan anak muda dan juga berprestasi.

“Bupati Kendal, Bupati termuda di jateng, kader golkar lagi, kenapa Ketum Golkat tidak merekomendasinya? Wagub Jatim Emil Dardak muda juga kenapa tidak direkom partai??? Ternyata muda saja tidak cukup harus ada plusnya …..”

Seperti diketahui, Gibran diduga mendapatkan tiket untuk ikut berkompetisi dalam pilpres berkat bantuan ayah dan pamannya. Gibran yang baru berusia 36 tahun semestinya belum memenuhi syarat UU Pemilu, yaitu capres atau cawapres minimal berusia 40 tahun.

Namun ia bisa lolos, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai oleh Anwar Usman mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan menambah norma baru Gibran akhirnya bisa mendaftar sebagai bacawapres berpasangan dengan Prabowo.

Sejumlah pakar hukum pun mengkritik keputusan tersebut. Sebab, MK sejatinya adalah negative legislator karena sebatas menghapus atau membatalkan suatu norma Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Perkara batas usia untuk menduduki jabatan bukanlah isu konstitusional, melainkan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy yang tidak seharusnya diuji oleh MK.

Secara konstitusional, fungsi MK tidak boleh menambah, mengubah atau membuat norma baru atas produk konstitusi. Putusan MK yang membuat norma baru dengan menyetujui klausula frasa "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" dinilai telah menabrak prinsip konstitusional.

Keputusan tersebut juga diduga syarat kepentingan, sebab hakim yang memutus perkara gugatan tersebut tak lain adalah paman Gibran atau adik ipar Presiden Joko Widodo. MK yang semestinya menjadi lembaga penjaga konstitusi justru menjadi penopang dinasti Presiden Jokowi, hingga akhirnya muncul istilah Mahkamah Keluarga.(msn/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan