Pendekatan yang telah disebarluaskan oleh MPI itu, termasuk terkait bagaimana menghadikan tampilan-tampilan yang tidak reaktif. “Pendekatan itu membuat Muhammadiyah tidak langsung menjawab atau berhadap-hadapan dengan materi yang dipersoalkan,” ungkap dia.
Kemasan konten yang dihadirkan juga harus sesuai dengan karakter sasaran dakwah masa kini, terutama generasi Z. Muchlas mengungkapkan, saat in, generasi Z di Indonesia sudah mencapai 30%.
Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta itu juga menggambarkan media sosial bagai warung kopi, yang di dalamnya, ada beraneka rupa karakter. Dalam warung kopi itu, ada orang yang sebenarnya tidak ahli tapi pandai berbicara. Sementara itu, para ahli hanya diam mengamati.
Hal itu membahayakan, terlebih di era yang disebut sebagai era Postruth seperti kini. Pasalnya, di era ini, kebenaran tidak lagi penting, asalkan sesuai dengan selera perasaan konsumen. “Akhirnya pendapat yang salah bisa dianggap sebagi kebenaran,” kata dia.
Belum lagi, era kini, kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan big data menjadi suatu hal lumrah. “Bahkan saya bisa mencari bagaimana Salat Tarawih menurut Muhammadiyah. Rupanya, ada yang benar, ada yang salah,” ungkap dia.
Ia mengungkapkan, dirinya pernah mengecek kinerja AI terkait penetapan awal bulan hijriyah versi Muhammadiyah. Ternyata, jawaban AI menyebut bahwa pada malam yang ditentukan sebagai waktu pengamatan, Tim Rukyah Muhammadiyah akan melakukan pengamatan mencari hilal.
“Tentu ini tidak sesuai dengan ideologi kita, bukan pandangan ke-Islaman Muhammadiya terkait penentuan awal bulan. Tapi, ini yang dijawab oleh AI,” kata dia.