FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Gerakan Kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Asli atau G-45 mendesak UUD 1945 dikembalikan ke naskah asli. Ada tiga alasan yang melatar belakangi.
Presidium G-45, M.Din Syamsuddin mengatakan hal tersebut sangat penting. Juga mendesak.
Eks Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menyebutkan, alasan pertama karena ada kerusakan berbangsa sejak UUD direvisi dan diterapkan pada 2002. Itu menurutnya sangat fatal dan berbahaya.
“Hal ini dapat disaksikan dan dirasakan oleh sebagian rakyat dalam berbagai bidang,” kata Din Syamsuddin dikutip fajar.co.id dari keterangan resmi, Jumat (17/11/2023).
Ia mencontohkan di bidang ekonomi, kehidupan rakyat semakin berat, angka pengangguran meningkat, dan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin semakin tersekat. Ditambah lagi, harga bahan-bahan pokok tak terkendalikan. Negara yang kaya ini sudah lama mengimpor beras, gula, bahkan garam.
“Hal itu semua disebabkan oleh sistem ekonomi liberal yang dibuka peluang besar oleh UUD 2002 dan terapkan oleh pemerintah. Akibatnya, aset nasional dikuasai oleh segelintir orang yang disebut Kaum Olighar, sementara rakyat kebanyakan tidak menikmati kekayaan negara dan masih hidup di bawah garis kemiskinan,” jelasnya.
Ketimpangan ekonomi itu, disebut menghasilkan efek domino. Hingga segelintir orang bisa mengendalikan politik nasional untuk berkuasa atau melanggengkan kekuasaan dengan menempuh berbagai cara.
“Inilah yang terjadi dalam kehidupan politik. Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan Sistem Pilpres yang diatur berdasarkan UUD 2002, telah menciptakan dan melanggengkan kerusakan kehidupan bangsa dan negara tadi,” terangnya.
Hasilnya, kedaulatan rakyat yang dijunjung tinggi oleh Pancasila dan UUD 1945 disebutnya dikhianati dan dirusak oleh demokrasi liberal. Padahal, menurutnya itu bertentangan secara diametral dengan Demokrasi Pancasila (Sila Keempat Pancasila).
“Kedaulatan rakyat telah beralih ke kedaulatan partai, dan kedaulatan partai dikuasai oleh kelompok kecil dalam partai,” imbuhnya.
Hal inilah yang disebut Din Syamsuddin menyebabkan wakil rakyat ditentukan oleh elit partai, dan keterpilihan mereka dipengaruhi oleh para pengusaha yang menyebarkan budaya politik uang sehingga berkembang istilah Nomor Piro Wani Piro atau NPWP. Pemilu bahkan Pilpres disinyalir akan dipengaruhi dan dirusak oleh Kaum Olighar ekonomi dan politik.
Tidak hanya di legislatif, tiga pilar utama negara demokrasi; lembaga legislatif, eksekutif-yudikatif, dosebutnya tidak berfungsi mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Bahkan terakhir kasat mata di depan rakyat rekayasa hukum oleh Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi pengawal terakhir konstitusi berlangsung mulus mengubah Undang-Undang,” ucapnya.
“Itu semua berpangkal pada dihilangkannya fungsi dan peran MPR yang menurut UUD 1945 Asli sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih, mengontrol dan memberhentikan Presiden-Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),” tambahnya.
Baginya, sebuah kerugian besar bagi bangsa jika perkembangan dalam bidang ekonomi dan politik telah mempengaruhi kehidupan bangsa dalam bidang budaya, apalagi jika budaya baru ini pada giliran berikutnya mendorong kerusakan politik dan ekonomi lebih lanjut.
“Bangsa yang terkenal dengan budaya luhur berdasarkan nilai-nilai agama dan kearifan lokal sebagai bangsa yang ramah tamah, gandrung bergotong royong, pejuang, dengan mengedepankan nilai-nilai keikhlasan (dalam istilah sepi ing pamrih rame ing gawe) kini menjadi bangsa yang mengagungkan gaya hidup duniawi yang bersifat individualistik, materialistik, dan hedonistik,” imbuhnya.
Budaya semacam itu, menurutnya mendorong lingkaran setan keburukan dan kerusakan dengan sistem ekonomi dan politik yang tidak membuka jalan bagi kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi liberal dinilainya gagal menjadi sarana kesejahteraan, justeru mendorong kebebasan untuk persaingan tidak sehat.
“Tentu banyak lagi fakta dari kenyataan kehidupan bangsa dan negara yang buruk sebagai akibat penerapan UUD 2002 yang dapat diungkapkan. Namun yang jelas, perwujudan cita-cita nasional yakni Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa menjadi jauh panggang dari api,” bebernya.
Ia menyinggung peringatan 100 Tahun kemerdekaan pada 2045 nanti, mimpi Indonesia Emas disebutnya dapat berubah menjadi Indonesia Nahas. Karena amanah Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terselewengkan oleh kenyataan berkembangnya kekayaan oleh segelintir orang yang berkacak pinggang atas kemiskinan penderitaan orang banyak.
“Maka, Kembali ke UUD 1945 Asli adalah solusi. Gerakan ini bukanlah memutar arah jarum sejarah ke masa lalu, tapi adalah menemukan kembali mutiara bangsa untuk menghadapi masa mendatang. Gerakan ini adalah kembali ke khittah kebangsaan yang telah disepakati oleh para negarawan pendiri bangsa,” ucapnya.
“Dengan Kembali ke UUD 1945 diharapkan akan diterapkannya Demokrasi berdasarkan Sila Keempat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), yang menekankan musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan,” tandasnya.
(Arya/Fajar)