Krisis Pengungsi Rohingya di Aceh, Ini Tuntutan KontraS untuk Sikap Pemerintah Pusat

  • Bagikan
Ilustrasi - Sejumlah imigran Rohingya saat sempat mendarat di kawasan pantai Aceh Utara, Kamis (16/11/2023) (ANTARA/HO/Warga)

FAJAR.CO.ID, ACEH -- Harapan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh terhadap Pemerintah Pusat muncul seiring dengan gelombang kedatangan pengungsi etnis Rohingya di Aceh pada tiga hari terakhir November 2023.

"Ketika pemerintah diam saja membiarkan persoalan ini berlarut, sehingga terjadi penolakan, ini sangat kita sayangkan," ungkap Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, di Banda Aceh pada hari Jumat (17/11/2023).

Dalam rentang tiga hari terakhir, ratusan pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Pada Selasa (14/11), sebanyak 200 orang mendarat di pesisir pantai Gampong Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, dengan enam di antaranya melarikan diri.

Sehari berikutnya, Rabu (15/1), 147 imigran Rohingya kembali tiba di kawasan pantai Beurandeh, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie.

Kemudian, pada Kamis (16/11), Aceh kembali menjadi tujuan kapal imigran Rohingya, kali ini di pesisir Jangka, Kabupaten Bireuen. Namun, mereka dihadang oleh penolakan dari warga setempat.

Dalam menghadapi penolakan dari masyarakat Bireuen, kapal yang membawa 249 imigran Rohingya mendarat di wilayah Kabupaten Aceh Utara. Meskipun diberikan makanan dan pakaian, mereka akhirnya didorong kembali ke laut.

KontraS Aceh mendesak pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Bireuen, untuk memberikan pertolongan dengan mendaratkan para pengungsi yang berada dalam kondisi memprihatinkan. Terutama karena mereka hampir sebulan terombang-ambing di lautan.

Di sisi lain, KontraS Aceh juga menyoroti ketidakadaan mekanisme komprehensif yang seharusnya dapat dilakukan oleh pemerintah hingga tingkat pusat dalam menangani pengungsi yang tiba di Aceh.

Mereka merujuk pada Perpres 125/2016 yang mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi.

Pasal 17 dan 18 dari Perpres tersebut menegaskan tentang penanganan pengungsi setelah mereka mendarat, yang melibatkan Basarnas dan koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat.

"Tidak ada ketentuan dalam Perpres ini untuk adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia, Pemerintah Pusat punya tanggung jawab dan peran aktif seharusnya disini," ujarnya.

Menurutnya, penolakan terhadap pengungsi dan pengembalian mereka ke laut setelah mendarat melanggar prinsip 'non-refoulement', yang merupakan kewajiban internasional bagi setiap negara.

Dalam konteks penderitaan yang dialami oleh pengungsi Rohingya, yang terpaksa berpindah tempat mencari kehidupan baru, tidak bisa dipisahkan dari sejarah kekerasan yang mereka alami di Myanmar selama puluhan tahun.

Terlebih lagi, kekerasan tersebut masih berlanjut di Myanmar hingga sekarang. Aceh sendiri pernah mengalami situasi serupa saat konflik terjadi di masa lalu, memaksa banyak warga Aceh mencari perlindungan di luar negeri.

Husna menegaskan bahwa ketika pemerintah diam atau mengabaikan apa yang sedang terjadi, terutama dengan membiarkan pengungsi ditolak dan dikembalikan ke laut, hal ini jelas tidak menunjukkan adanya empati.

"Kami minta pemerintah untuk menolong para pengungsi. Negara juga diminta segera meratifikasi Konvensi 51 tentang Pengungsi," pungkas Husna. (ant)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan