FAJAR.CO.ID - Berdasarkan Penelitian Sejarawan Leonard Y. Andaya dalam bukunya "Warisan Arung Palakka", gaukeng merupakan benda keramat yang memainkan peran sentral dalam sejarah pembentukan permukiman awal pada suku Bugis dan Makassar.
Menurut tradisi yang berlaku di daerah Bugis dan Makassar, benda yang disebut gaukeng (Bugis), gaukang (Makassar) merupakan benda yang sangat dihormati sebagai makhluk halus penjaga pada sebuah komunitas tertentu.
Gaukeng bisa berupa apa saja yang bentuknya tidak biasa atau mempunyai ciri aneh, bisa berupa biji buah yang telah kering, tunggul pohon, bajak tua, namun lebih sering berupa batu.
Dipercaya bahwa pada suatu waktu di masa lampau beberapa anggota dari komunitas ini menemukan benda keramat itu, mereka kemudian menyediakan tempat, pelayan, kebun dan kolam untuk merawat benda itu dan penemunya.
Penemu ini kemudian menjadi pemimpin komunitas, baik dalam urusan keagamaan maupun sekuler, sebagai juru bicara untuk gaukeng itu. Inilah permulaan, menurut sumber-sumber lisan ini, adanya pemimpin-pemimpin dari komunitas gaukeng.
Meski hampir tidak ada pembahasan mengenai asal-usul gaukeng atau arti pentingnya, kita masih dapat memahaminya melalui contoh serupa di tempat lain di Asia Tenggara.
Kepercayaan terhadap dewa-dewa penjaga yang bersemayam di batu-batu dapat ditemukan di Asia Tenggara, India dan Tiongkok. Salah satu penjelasan terinci tentang hal ini dibuat oleh ilmuwan Prancis, Paul Mus, yang menjelaskan tentang batu-batu keramat di Champa, kini Vietnam bagian tengah.
Champa adalah nama sebuah kerajaan yang penduduknya dari ras bangsa Indonesia yang mengembangkan peradaban mengesankan antara abad ke-9 hingga ke-14.
Menurut Mus, orang-orang Cham percaya bahwa Dewa Tanah, yang mengandung energi-energi pemberi hidup bagi dunia, bersemayam dalam batu-batu tadi. Batu-batu ini bukanlah representasi, namun Dewa Tanah yang sebenarnya dibuat kasat mata bagi manusia.
Karena Dewa Tanah tidak mampu berkomunikasi dengan manusia dalam bentuk seperti itu, jadi perlu ada perantara bagi manusia dan dewa, Orang yang menjadi perantara diangkat oleh sesama mereka menjadi pemimpin spiritual dan keduniawian bagi komunitasnya karena perannya sebagai juru bicara bagi Dewa Tanah.
Karena batu-batu keramat di Champa ini kelihatannya mempunyai kesamaan asal-usul, fungsi dan makna dengan gaukeng di Sulawesi Selatan. Jadi sangat mungkin hal ini merupakan bagian dari kesamaan fenomena yang disebutkan Mus bahwa batu-batu ini hadir di sepanjang India bagian selatan hingga Jepang Selatan (Monsoon Asia).
Namun pada tradisi lisan di Sulawei Selatan yang tampaknya lebih eksplisit dari pada yang di Champa menyangkut peran batu-batu keramat ini dalam evolusi sebuah permukiman.
Menurut tradisi ini, komunitas gaukeng asli di Sulawesi Selatan secara perlahan mulai meluas. Daerah yang merupakan tempat asli gaukeng, yang kemudian ditentukan sebagai batas wilayah sebuah komunitas, tidak mampu lagi mencukupi keperluan kelompok komunitas tersebut.
Bagian batu dari komunitas induk pun diberikan, setiap kelompok mendapat gaukeng masing-masing. Komunitas baru ini dianggap sebagai “anak” oleh komunitas “ibu” yang merupakan komunitas gaukeng asli, dan gaukeng milik komunitas “anak” ini dianggap sebagai “pembantu” bagi gaukeng asli itu.
Komunitas gaukeng seperti ini ada di banyak tempat di seluruh Sulawesi Selatan, tidak lama, mereka mulai bersinggungan dan perselisihan pun tidak terhindarkan, khususnya dalam memperebutkan hak terhadap tanah dan air.
Kekuatan fisik sering digunakan untuk mengatasi perselisihan ini karena tidak ada cara lain untuk menyelesaikan pertengkaran antara komunitas gaukeng ini.
Menurut tradisi lisan, pada tahap ini, muncullah Tomanurung (Bugis)/ Tumanurung (Makassar), “Orang yang turun (dari Dunia Atas)”.
Tanpa merujuk secara khusus pada I La Galigo, tradisi lisan dan tulis Bugis Makassar kemudian mengaitkan episode terakhir yang terkenal dari epos ini dengan datangnya Tomanurung sebagai pemimpin untuk menjaga kedamaian dan ketertiban pada wilayah tersebut. (Hmk)