‘’Dalam keterangan Pak Agus dijelaskan bahwa Presiden sempat marah dan meminta agar kasus korupsi E-KTP dihentikan. Namun permintaan Presiden tidak digubris Pak Agus dengan alasan Sprindik sudah terlanjur diterbitkan beberapa minggu sebelumnya, sementara UU KPK saat itu tidak memberi kewenangan KPK untuk melakukan SP3 terhadap kasus yang sudah ditanganinya. Dan kita lihat kesesuaiannya, hasil amandemen UU KPK yang baru sekarang benar akhirnya KPK diberi kewenangan SP3,’’ ujar Syamsuddin dalam keterangannya tertulisnya kepada FAJAR.CO.ID, Jumat (1/12/2023).
Syamsuddin meminta agar pihak penegak hukum KPK segera mengusut kasus ini untuk membongkar tabir kasus e-KTP yang belum sepenuhnya terungkap. Selain itu, DPR seharusnya dapat didorong menggunakan hak angket atau hak penyeledikan atas kasus ini.
"Semua harus diusut terang-terangan. Apalagi kasusnya sendiri sebenarnya memang belum tuntas semua. Masih ada beberapa oknum yang diduga terlibat belum diseret ke meja hijau," ujarnya.
Menurut Syamsuddin, kasus dugaan korupsi mega proyek e-KTP ini sejak awal memang menarik perhatian publik, dan berbagai pihak secara langsung berusaha menghalangi proses pengusutannya. Contohnya, Markus Nari, mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar, dihukum 8 tahun penjara karena merintangi penanganan kasus tersebut. Begitu juga dengan pengacara Fredrich Yunadi, yang divonis Mahkamah Agung dengan hukuman 7 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan, karena terbukti menghalangi proses penyidikan KPK terhadap mantan Ketua DPR Setya Novanto yang saat itu merupakan tersangka kasus korupsi proyek e-KTP. (eds)