FAJAR.CO.ID, JAKARTA—Ajang kampanye semestinya menjadi ajang bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk adu gagasan. Namun, sayangnya satu di antara tiga paslon capres dan cawapres, justru membuat gimik ‘gemoy’ yang manipulatif dan membodohi masyarakat.
Kritik tersebut disampaikan pegiat media sosial (medsos) Septian Raharjo melalui akun fanspagenya Gus Rahajo, Rabu (29/11/2023). Ia mengatakan, gimik ‘gemoy’ yang diusung pasangan Prabowo-Gibran menunjukan kekalahan gagasan, dan ketidaksiapan pasangan nomor 2 ini dalam menghadapi Pilpres 2024.
“Kenapa Kubu KIM menggunakan kampanye gemoy-gemoy seperti itu? Apa baginya anak muda mudah dibodohi, tidak kritis, suka hal receh, apatis maupun selainnya. Mungkin ada satu atau dua seperti Kaesang,” tulis Gus Raharjo.
Menurutnya, gimik gemoy yang diusung pasangan Prabowo-Gibran adalah pembodohan terhadap generasi muda. Pasangan ini, kata Gus Raharjo, telah menghina akal sehat anak muda karena membuat tren gimik gemoy yang tidak mendidik.
“Balik lagi ke anak muda. Gen-Z maupun Milenial banyak aktif dalam berbagai kegiatan serta mengikuti isu-isu lingkungan, kesetaraan gender, mental health, pendidikan, seni-budaya, industri kreatif, lapangan pekerjaan, hingga politik," katanya.
"Bahkan jika diajak berdebat dengan cawapresnya Gemoy, mereka lebih jago dan paham. Jadi kita tidak bisa dibodohi dengan hal -hal receh, justru muak dengan kekonyolan pasangan KIM,” lanjut Gus Raharjo.
Pegiat medsos dengan jumlah pengikut fanspage sebanyak 164 ribu followers ini mengatakan, selain untuk mengaburkan visi-misi, gimik gemoy juga digunakan untuk mengaburkan pelanggaran HAM, sikap temperamen, hingga skandal di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Lihat saja dulu, bagaimana Prabowo menggebrak-gebrak meja, bilang ndasmu terkait pertumbuhan ekonomi, tidak butuh kartu-kartu, mendebat aspirasi Kyai, acuh kepada warga kampung, ataupun selainnya,” kritiknya.
Gimik gemoy, kata Gus Raharjo, juga sebagai upaya mengaburkan ketidakmampuan dalam mengelola pemerintahan. Tindakan pasangan ini membuat masyarakat kehilangan daya kritis.
“Jika ini terus berlanjut. Atau memang ini tujuannya, supaya ketika terpilih jadi pemimpin bisa membungkam suara rakyat alias menjadi negara diktator,” katanya.
Dia khawatir, jika pasangan Prabowo-Gibran terpilih, Indonesia akan menjadi negara demokrasi ‘rasa diktator’, seperti pada era Orde Baru (Orba), di mana kebebasan berpendapat dibatasi.
“Semua orang bisa menilai sendiri, bagaimana niatan dan tindakan capres-cawapres dari Kubu KIM. Apakah mereka tulus mengabdi atau hanya setingan untuk bisa berkuasa? Dan Perlu diingat Prabowo pernah bilang begini “Kami Ingin Berkuasa” sekaligus dia mengajarkan “orang berkuasa bisa mengatur sesuka hati dan yang lemah harus mengikuti penguasa, suka tidak suka, mau tidak mau harus nurut,” ujarnya.
Senada dengan kritik yang disampaikan dosen Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Gregory Budiman. Melalui akun instagramnya, @dr.gregorybudiman mengunggah video kritikan terhadap strategi kampanye pasangan Prabowo-Gibran.
Dia menuturkan, politik riang gembira yang kerap digaungkan oleh pasangan capres-cawapres nomor 2 ini adalah tindakan pembodohan kepada rakyat. Politik riang gembira dengan menampilkan gimik gemoy hanyalah upaya kamuflase untuk menutupi aib.
“Kampanye dengan lucu-lucuan, joget-joget, bagi-bagi amplop, bagi-bagi susu, janji makan siang gratis dan lain-lain, itu semua adalah kamuflase untuk menutupi aib dan tidak adanya konsep visi dan misi kepemimpinan yang jelas,” katanya.
Ia mengimbau kepada masyarakat agar jangan sampai salah dalam memilih pemimpin 2024 mendatang. Dia mengatakan, pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin memiliki visi misi dan gagasan untuk membawa Indonesia lebih baik.
“Kita harus cerdas dalam memilih. Pilihlah calon pemimpin yang memiliki karakter yang baik, taat agama dan tidak manipulatif. Indonesia adil dan makmur bagi semua,” pungkasnya.
Di akhir videonya, dia menuliskan politik riang gembira adalah pembodohan masyarakat. Membutakan masyarakat terhadap permasalah hukum, etika, dan moral. KKN ditutupi dengan joget-joget dan dagelan. (*)