Usman mengatakan, intervensi Jokowi kepada mantan ketua KPK Agus Rahardjo menjadi bukti bahwa Jokowi ingin menguasai segalanya. Termasuk mengendalikan proses penegakan hukum yang seharusnya netral dan objektif.
“Itu menyangkut korupsi yang sangat serius, menyangkut kita semua, kartu tanda penduduk itu. Dan saya kira itu mencerminkan betapa Jokowi saat itu hanya memikirkan stabilitas koalisi politiknya, hanya memikirkan koalisi aliansi partai yang kolusif jadinya,” paparnya.
Dikatakannya, kesaksian Agus Rahardjo sebagai ketua KPK pada era itu menunjukan sekali lagi bahwa kekuasaaan eksekutif ingin mengendalikan segalanya. Orang yang terlibat kasus hukum berusaha dibebaskan, agar bisa mendukung kekuasaan atau sebaliknya orang diancam dengan proses hukum supaya mendukung kekuasaan dan jika orang itu mendukung maka proses hukumnya akan dihentikan.
“Itu sebenarnya terjadi di periode pertama, dengan penggunaan kejaksaan. Nah tapi Pak Agus membuktikan bahwa KPK nggak bisa digunakan, nggak bisa disalahgunakan, meskipun setelah Pak Agus tidak lagi menjadi ketua KPK, kita tahu bahwa KPK pun jadi senjata,” pungkasnya.
Dia menambahkan, saat ini KPK telah dikendalikan dan disubkoordinasikan oleh kekuasaan presiden, bukan untuk menegakan hukum. Padahal pemberantasan korupsi sangat penting untuk memastikan dana negara bisa disalurkan untuk pelayanan hak asasi manusia, antara lain kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal.