Kriminolog Sorot Pajama Barakka, Sebut Hanya Manjakan Mantan Napi, Tak Bisa Tekan Angka Kriminalitas Jalanan

  • Bagikan
Ilustrasi. (int)

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Belakangan ini, serangkaian tindakan kriminal menggunakan busur menghantui kehidupan warga di Kota Makassar.

Catatan fajar.co.id, dalam rentang waktu yang singkat, terdapat tiga peristiwa teror busur yang meresahkan, bahkan menyebabkan korban meninggal dunia.

Pada 23 November 2023, seorang warga berinisial AK (17) yang tinggal di Jalan Abubakar Lambogo menjadi korban penyerangan menggunakan busur.

Korban dinyatakan meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Kejadian ini menciptakan kekhawatiran di masyarakat.

Serangan busur kembali terjadi pada 1 Desember 2023, kali ini di kecamatan Biringkanaya. Seorang warga bernama Firdaus (38), menjadi korban dalam peristiwa serupa.

Selanjutnya pada 3 Desember 2023, teror busur kembali terjadi.

Dua warga menjadi korban dalam peristiwa ini masing-masing DPS (14) dan Muhammad Imran (19), keduanya merupakan warga Jl Maccini Raya, Makassar.

Masing-masing mengalami luka di bagian dada dan perut. Kondisi ini semakin meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan warga.

Dari rentetan peristiwa penyerangan tersebut, hampir seluruhnya dipicu oleh niat balas dendam. Kecuali penyerangan di Biringkanaya, karena pelaku merupakan Orang Tak Dikenal (OTK).

Kriminolog Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof. Heri Tahir saat diwawancarai fajar.co.id blak-blakan mengenai maraknya kriminalitas jalanan di Kota Makassar.

Menurut mantan WR III UNM itu, cara pihak Kepolisian di kota Makassar tidak tepat dalam menekan angka kejahatan.

Setelah dibubarkan Batalyon 120, terbit Program Balla Barakka dan Pajama Barakka yang digagas Polrestabes Makassar. Prof Heri melihat, itu justru memanjakan para mantan narapidana. 

"Jangan seolah-olah program itu justru memanjakan mereka. Ini belum efektif, mungkin ini niatnya bagus, sama halnya narkoba, itu kan rehabilitasi itu kan ada masa waktunya enam bulan, setelah itu kalau sudah bagus progresnya, baru dikeluarkan," Prof Heri memulai ceritanya.

Untuk kasus narkoba, kata Prof Heri, tidak dikeluarkan begitu saja, tapi dipantau apakah betul-betul memberikan feedback yang lebih bagus atau tidak. 

"Apalagi menghadapi mereka ini kan memiliki karakter yang berbeda-beda, latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, itu kan harus dibedakan juga perlakuannya," sebutnya. 

Prof Heri menekankan, Polisi tidak mungkin bisa berperan untuk mengatasi masalah penyakit sosial tersebut. Apalagi, pelaku-pelakunya banyak dari usia muda, SMA, SMP, hingga putus sekolah dan sebagainya.

"Suatu keniscayaan, persoalan penyakit sosial seperti ini, tidak mungkin hanya bisa dituntaskan pihak Kepolisian, sehingga memang harus sinergi dengan pemerintah," 

Diungkapkan Prof Heri, Pemerintah kota ini memiliki perpanjangan tangan. Seperti di antaranya Lurah, RT dan RW.

"Saya juga sudah menulis, bagaimana memperdayakan Babinkamtibmas. Ini tidak terlalu dipeduli. Misalnya begini, kalau ada (tahanan) mau dilakukan pelepasan untuk dilakukan pembinaan, itu semestinya RT atau RW dipanggil dengan Babinkamtibmas," ucapnya.

Sehingga, kata dia, dilepaskannya tahanan tersebut harus melalui persetujuan RT atau RW dan juga Babinkamtibmas.

"Sehingga efek psikologisnya, si anak yang akan dikeluarkan sebentar ini merasa ternyata RT RW ini betul-betul punya peran," tukasnya.

Artinya, dituturkan Prof Heri, ketika narapidana itu kembali ke tempat tinggalnya, dia tidak lagi memandang sebelah mata ketua RT atau RW dan Babinkamtibmas.

"Ketika dia kembali, dia hormat kepada RT RWnya, hati-hati kalau bukan itu nda dilepaski itu. Ini untuk proses pembinaan," tegasnya.

Prof Heri menyinggung program yang digagas Brigjen Pol Budi Haryanto saat menjabat sebagai Kapolrestabes Makassar.

"Kan begini sebenarnya, sudah pernah ada program dalam pembentukan Batalyon 120," kata Prof Heri.

Dikatakan Prof Heri, dari awal dirinya tidak setuju dengan cara-cara pendekatan dengan memberikan wadah kepada para mantan narapidana.

"Memang dari awal saya tidak setuju dengan cara begitu, karena efek psikologisnya pertama, jangan-jangan para pelaku anak ini, gerombolan ini merasa dekat dengan pihak Kepolisian, dia merasa ada tameng," lanjutnya.

Prof Heri kemudian mengingatkan ketika pimpinan atau wakil ketua Batalyon 120 AA alias Tejo ditangkap karena melakukan kejahatan.

"Bukti, beberapa lalu itu kan komandannya ada yang ditangkap karena sering melakukan kejahatan, kekerasan dan sebagainya. Mungkin dia merasa dekat aparat Kepolisian," Prof Heri menuturkan.

Lebih lanjut kata Prof Heri, busur sejatinya masuk dalam UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak, termasuk di dalamnya senjata tajam.

"Busur-busur itu kan kalau kita melihat prespektif hukum, termasuk kejahatan berat itu. Itu melanggar UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak, termasuk di dalamnya senjata tajam, itu berat sekali, nda boleh dibiarkan," tuturnya.

"Dulu pengalaman kita waktu dilakukan penggerebekan di Jalan 40.000 jiwa, itu kan lebih seratus senjata tajam yang ditemukan di sana," sambung dia.

Justru, kata Prof Heri, mantan Kanit Reskrim Polsek Tallo Makassar Iptu Faizal yang melakukan penggerebekan justru dipojokkan dan langsung dimutasi.

"Yang melakukan penggerebekan itu dipojokkan. Jadi memang saya kira perlu ada koordinasi yang baik dengan semua pihak," tandasnya.

"Jadi, kadang tim Polda turun, Polrestabes merasa tidak nyaman, ini saya kira harus ada persamaan perspektif dalam kasus-kasus seperti ini," kuncinya. (Muhsin/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan