Netralitas Aparatur Negara untuk Pemilu Damai

  • Bagikan
Ngasiman Djoyonegoro, analis intelijen, pertahanan, dan seamanan, serta Rektor Institut Sains dan Teknologi al-Kamal Jakarta. (Antara/HO-Dokumen Pribadi)

Oleh Ngasiman Djoyonegoro*)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kanal konflik dalam sebuah negara demokratis, antara lain, difasilitasi dalam pemilihan umum. Perbedaan pendapat disalurkan dalam aspirasi di bilik suara. Para kandidat berfungsi sebagai checkpoint perjuangan di lembaga eksekutif dan legislatif, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Oleh karena itu, pemilu harus dilaksanakan dengan penuh perdamaian dan demokratis. Sulit membayangkan penyelenggaraan negara 5 tahun ke depan dapat berjalan kondusif tanpa pemilu yang damai dan demokratis.

Salah satu upaya untuk menjaga pemilu damai adalah menjaga netralitas aparatur negara: pegawai negeri sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), termasuk aparatur intelijen negara.

Mengapa? Karena para aparatur didesain untuk mengabdi kepada kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan/atau kelompok politik tertentu. Akan muncul masalah di kemudian hari jika para aparatur negara ini bersifat tidak netral dalam pemilu.

Kekhawatiran yang lain, tatkala aparatur negara tidak netral, maka besar kemungkinan sumber daya strategis mereka dipergunakan untuk kepentingan pemenangan kandidat tertentu. Itulah sebabnya, TNI dan Polri tidak diperkenankan memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Kedua institusi ini memiliki sumber daya nasional dan satu komando.

Bagaimana aparatur yang lain? meski PNS dan personel intelijen memiliki hak memilih, mereka terikat pada undang-undang untuk berpegang pada prinsip netralitas sehingga tidak diperkenankan untuk mengapresiasikan dukungannya kepada kandidat tertentu dalam bentuk apa pun. Demikian halnya dengan aparatur desa, tidak luput dari isu netralitas pada Pemilu 2024 dengan alasan yang sama.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan