FAJAR.CO.ID,MAKASSAR — Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menyumbang 33 persen total pasokan listrik di Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat (Sulselbartra). Ini jadi masalah ketika musim kemarau panjang tiba
Apalagi ketika terjadi El Nino. PLTA akan mengering. Pasokan listrik defisit. Pemadaman listrik pun akan jadi sesuatu yang tidak terhindarkan.
Belum lagi ketika Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) disuntik mati dan diganti ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Tidak tepat jika hanya mengandalkan PLTA saja.
Pakar Energi Universitas Hasanuddin, Musri, mengatakan perlu EBT yang lain. Ia menyebut Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
“Jika kedepan batubara mau dihentikan, tidak cukup mengandalkan PLTA. Perlu segera baseload penyediaan listrik yang lain seperti PLTN yang lebih andal,” kata Musri kepada fajar.co.id melalui WhatsApp, Rabu (6/12/2023).
Pasokan listrik dari EBT Sulselrabar memang cukup besar, mencapai angka 40 persen. Namun itu didominasi dari PLTA 33 persen.
Menurut Musri, jika ingin menghadapi peradaban yang makin modern ke depannya, diperlukan banyak jenis pembangkit listrik EBT. Tidak bergantung pada PLTA saja.
“Memang optimalisasi hydro power termasuk mikro hidro itu baik tetapi tidak akan memenuhi kebutuhan energi listrik pada masa datang,” jelasnya.
“Apalagi jika seluruh peradaban seperti kebutuhan transportasi, rumah tangga seperti kompor listrik. Itu akan besar sekali. Saat ini konsumsi listrik perkapita rata-rata masih dikisaran kurang dari 1000 kWh/kapita. Ketika ekonomi semakin baik, dan gedung semakin tinggi, tentu konsumsi energi juga akan meningkat,” sambungnya.
Apalagi melihat ambisi pemerintah jadi negara maju di 2024. Ia memprediksi akan terjadi lonjakan kebutuhan listrik yang besar.
“Untuk menjadi negara maju di 2045 , setidaknya konsumsi energi akan berada dikisaran lebih dari 4500 kWh/kapita. Itu kita bisa lihat contoh sederhana, dalam kebutuhan listrik RT seperti penggunaan AC, kompor, transportasi listrik, dan lain-lain,” terangnya.
Melihat kondisi geografis di Sulselrabar, menurutnya PLTN adalah pilihan yang tepat. Karena tidak bergantung pada cuaca seperti PLTA dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
“Selain PLTN bersih, juga tidak intermitten. Serta jauh lebih stabil dari pembangkit lainnya,” usulnya
Ia mencontohkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Energi terbarukan yang mengandalkan panas itu menurutnya tidak cocok untuk di Sulselrabar.
“Panel Surya banyak problem, selain intermitten juga diperlukan areal lahan yang luas, jika pun menggunakan storage, nampaknya tetap masih akan sulit memenuhi pasokan listrik di era ekonomi semakin baik,” imbuhnya.
“Radiasi matahari di Indonesia tidak sepanjang tahun. Faktanya ada musim penghujan, dan itu bisa 3 bulan berturut-turut seperti di Makassar yang memiliki iklim muson,” tambahnya.
Baginya, bukan tidak mungkin PLTN diterapkan di Indonesia. Bahan bakunya bisa diambil dari uranium yang ada di Sulawesi Barat (Sulbar).
“Iya. Segi bahan bakar nuklir, Sulbar memiliki potensi uranium terbesar di Indonesia sesuai dengan hasil studi yang dilakukan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Indonesia),” ucapnya.
Memang akan membutuhkan biaya yang besar. Namun persoalan itu, kata dia bisa ditaktisi. Caranya, pemerintah membentuk Baadan Usaha Milik Negara (BUMN) patungan dengan swasta dan koperasi.
“Koperasi kita banyak yang kuat dan mampu untuk untuk itu,” ungkapnya.
“Memang untuk ekstraksi memerlukan biaya besar tetapi permintaan uranium terus meningkat. Perancis saat ini memiliki 59 reaktor nuklir untuk PLTN dan 90 perden pasokan listriknya dipenuhi dari PLTN. 10 persen dari PLTS dan PLTA,” pungkasnya.
Belum lagi di negara lain. Seperti Amerika Serikat, Inggrish, bahkan negara di Asia seperti Bangladesh dan Arab Saudi.
“US memilik 63 reaktor, Inggris 11 reaktor. Bahkan Bangladesh saat ini tengah dalam konstruksi, begitu pula Arab Saudi,” tandasnya.
(Arya/Fajar)