FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Kasus kekerasan seksual menjadi atensi pemerintah termasuk di Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPA-KB Dalduk) Provinsi Sulawesi Selatan.
Tak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi di era digital juga berdampak pada kekerasan seksual.
Kepala Dinas DPPPA-KB Dalduk Sulsel Andi Mirna mengimbau agar tetap bijak dalam menggunakan media sosial.
Karena penggunaan media sosial secara tidak baik juga menjadi salah satu faktor dalam kekerasan seksual.
“Kalau kita tidak cerdas memakai, bisa menjerumuskan. Kalau kita cerdas memakai, bisa memang mengangkat kapasitas. Yang sekarang ini banyak tidak teredukasi dengan baik,” kata Andi Mirna di kegiatan Workshop Emansipasi Perempuan di Era Digital.
Acara ini juga dihadiri Ketua DPRD Sulawesi Selatan, Andi Ina Kartika Sari dan berbagai komunitas atau kelompok ekonomi perempuan.
Menurutnya, lingkungan sangat mempengaruhi pola perilaku anak-anak. Orang tua tidak boleh terlalu menekan dalam mendidik sekaligus tidak boleh terlalu memberi keleluasaan.
Dia mengakui, kasus kekerasan seksual di Sulsel terbilang tinggi. Pemprov Sulsel bersama stakeholder lainnya bekerjasama dalam mencegah maupun menangani kasus kekerasan seksual.
Biasanya, ketika ada korban yang didapatkan oleh pihak kepolisian, DPPPA-KB Dalduk Sulsel turun melakukan penjangkauan hingga assessment.
Melalui assessment ini pihak korban akan diketahui apakah memiliki rasa trauma. Ketika itu ditemukan maka akan disembuhkan terlebih dahulu. Setelah itu dikembalikan ke keluarga.
Namun jika korban enggan kembali ke keluarganya, ada program Rumah Aman yang disiapkan. Di sana korban bisa tinggal selama tiga bulan.
Dia sendiri mengaku telah melakukan beberapa upaya pencegahan. Misalnya melakukan road show, sosialisasi, dan melibatkan pentahelix.
Dalam UU 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPDKS) mengatur mengenai Pencegahan segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Hak Korban; koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan kerja sama internasional agar Pencegahan dan Penanganan Korban kekerasan seksual dapat terlaksana dengan efektif.
Dalam UU itu juga diatur mengenai perkawinan anak yang juga masuk dalam tindakan kekerasan seksual.
“Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),” bunyi pasal 10 ayat 1.
Berdasarkan UU itu, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
“Jadi biar orang tuanya kalau misalnya anaknya tidak kawin kecelakaan, normalnya terus dia kasi nikah apalagi kalau ada unsur-unsur itu,” kata Andi Mirna.
Dia mencontohkan salah satu kabupaten yang memiliki angka perkawinan anak yang cukup tinggi yakni Wajo. Untungnya saat ini kata dia sudah mulai menurun.
“Wajo itu malah paling turun signifikan, kemarin lebih 700. Baru bulan April sudah 700 perkawinan anaknya tapi kita terus turun, menteri PPA, ada yang MoU antara bupati kemudian forkopimda, kemudian kepala desa, tokoh agama, KUA, imam desa, semua turun. Sangat signifikan kalau di Wajo. Cuman itu tadi kami DPPPA punya keterbatasan makanya kami selalu libatkan unsur-unsur pentahelix, ada dunia usaha, ada dunia, akademisi, media,” tandasnya. (selfi/fajar)