Kurikulum Merdeka dan Tantangan Implementasi P5

  • Bagikan
Sejumlah guru dan siswa memperlihatkan hasil karya kerajinan mereka yang dipamerkan dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di Lapangan Simpang Lima, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (26/11/2023). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/tom.

Tentunya ini bermakna bahwa pembentukan Tim Fasilitator P5 tidak hanya dari pimpinan, namun juga bisa berasal dari para guru.

Bahkan, jika kalimat di atas dipahami lebih mendalam, maka yang berhak menentukan siap tidaknya P5 adalah guru, bukan pimpinan.
Hal inilah yang menjadi tantangan untuk tidak selalu berpola pikir top down.

Salah satu kendala berpikir bottom up adalah iklim sekolah yang kurang mampu memaknai “kemerdekaan guru” bahwa guru adalah pengembang kurikulum di level instruksional.

Iklim yang tidak kondusif menjadi momok para guru untuk berkreasi dan melakukan ekspresi “kemerdekaan kurikulum”-nya.
Kreasi dan inisiatif guru masih dinilai dipandang negatif.

Ini tantangan kita bersama untuk menyebarkan benih iklim kreasi dan inovasi di satuan pendidikan.

Ketiga, menghargai inisiatif dan proses, bukan hasil. Tantangan ketiga ini terkait dengan tantangan kedua di atas dalam hal siapa yang menginisiasi.

Siapapun yang mengisiniasi, pimpinan (pola pikir top down) atau guru (pola pikir bottom up), hal pokok yang dibutuhkan adalah memberikan penghargaan kepada inisiatif dan proses yang sedang dilakukannya, bukan menuntut hasil dan memandang sinis.

Inisiatif dan proses adalah wujud bahwa satuan pendidikan itu ada, hidup, bergerak, aktif, dan bertransformasi. Hal inilah yang menjadi tantangan bersama.

Ada dua pola proses yang bisa dilakukan untuk menginisiasi P5 ini, yakni proses analisis dan proses sintesis. Proses analisis bagaimana menggunakan suatu input untuk diolah, dipandang, dipersepsi, diperlakukan menjadi beberapa macam produk atau proses lanjutan.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan