Staat van Oorlog en Beleg dan Kekejaman Westerling di Tanah Sulawesi Selatan

  • Bagikan
Raymond Westerling saat di Indonesia- historischnieuwsblad.nl-

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- 5 Desember 1946, menjadi langkah pertama Raymond Paul Pierre Westerling di tanah Sulawesi Selatan.

Ia dengan 123 tentara baret hijau Depot Speciale Troepen (DST), pasukan elit khusus Belanda, Westerling tiba sebagai tokoh sentral pembantaian di Sulawesi Selatan.

"Sang Turki," sebagaimana julukan yang melekat padanya, naik pangkat yang tak terduga, dari letnan satu menjadi kapten, hanya dalam sehari setelah mendarat di Sulawesi Selatan.

Kenaikan pangkat ini diungkapkan oleh Mayjen TNI (Purn.) H. Andi Mattalatta dalam buku biografinya berjudul "Meniti Siri’ dan Harga Diri."

Pria kelahiran pada 31 Agustus 1919 itu diketahui pernah menjalani pelatihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, sebuah wilayah tandus, dingin, dan terpencil di Skotlandia.

Empat hari kemudian, para petinggi pemerintahan Belanda mengadakan pertemuan yang melibatkan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, Letnan Jenderal SH Spoor, Kolonel De Vries, dan Dr. Lion Cachet.

Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa beberapa wilayah termasuk Makassar, Bonthain, Pare-Pare, dan Mandar dinyatakan dalam keadaan darurat atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB).

Dengan keputusan ini, Westerling dan pasukannya menjalankan operasi penggeledahan di desa-desa dan rumah-rumah pejuang di wilayah Sulawesi Selatan. Puncak kekejaman terjadi pada 11 hingga 12 Desember 1946, saat mereka menyerbu Desa Batua, Borong, dan Patunorang.

Dalam literatur sejarah, tercatat bahwa penduduk desa yang dihadapi pasukan DST dikumpulkan di lapangan terbuka. Dengan tujuan menemukan tokoh pejuang Robert Wolter Monginsidi dan Ali Malaka, Westerling dan pasukannya mencek satu per satu warga.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan