"Harusnya kan dia (4 orang) pergi kalau dia tahu itu caleg, jangan terima uangnya. Tapi mereka yang tahu ini caleg tetap tinggal dan menerima uangnya dan mereka tidak dipecat," tambah Risma.
Kata dia, jika KPU Makassar mau menjatuhkan keputusan berat harusnya semua dipecat. Padahal, kata Risma, kasus serupa di Tamalate semuanya dipecat.
"Yang bikin saya ndak terima, kalau memang mau dipecat, pecat semua seperti kasusnya Tamalate. Tapi ini kenapa tidak, kayak berpihak sebelah, ndak adil," pungkasnya.
Pihaknya mengaku akan mengajukan nota keberatan ke KPU Makassar dan KPU Sulsel. Mereka berharap keputusan itu direvisi agar adil.
"Mau minta keberatan keputusan, kami tetap mau ajukan banding kalaupun memang sekarang dalam posisi kosong (komisioner KPU Makassar) tetap akan kami masukkan ke KPU Kota dan Provinsi sebagai penadahnya karena kota kosong," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, KPU Kota Makassar memutuskan memecat 1 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan 4 Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kecamatan Ujung Pandang karena melanggar kode etik. Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan KPU Makassar kelimanya terbukti menerima uang Rp200 ribu dari salah seorang oknum caleg.
Pemecatan itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) KPU Makassar Nomor 500 Tahun 2023 yang diterbitkan, Jumat (22/12/2023). SK itu masih ditandatangani Ketua KPU Makassar Faridl Wajdi yang masa jabatannya bersama komisioner lainnya berakhir pada Minggu (24/12) kemarin.
"Menetapkan Pemberhentian Tetap terhadap Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan Ujung Pandang dan Anggota Panitia Pemungutan Suara di beberapa Kelurahan pada Kecamatan Ujung Pandang untuk Pemilihan Umum Tahun 2024 sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan ini," demikian bunyi keputusan KPU Makassar, Senin (25/12/2023). (Ikbal/Fajar)