FAJAR.CO.ID — I Manga'rangi Daeng Manrabbia merupakan penguasa Gowa ke-14 yang pertama kali memeluk agama Islam. Saat masuk Islam dia diberi gelar Sultan Alauddin (Tumenanga ri Gaukana 1593-1639).
Sultan Alauddin memeluk Islam pada tahun 1603, dua tahun setelah I Mallingkaang atau Karaeng Matoaya dari Tallo memeluk Islam.
Dia menggantikan saudaranya, Tunipasulu yang telah digeser dari takhta Kerajaan Gowa pada tahun 1593. Kala itu, Sultan Alauddin masih berusia 7 tahun.
Sejarawan Leonard Y Andaya dalam buku Warisan Arung Palakka menyebut Islam telah memberi Gowa rangsangan lebih dan kekuatan yang dibutuhkan untuk mengatasi Bone dan menjadikan Gowa sebagai penguasa tak tertandingi di Sulsel.
Menurut sumber-sumber tertentu, yang kelihatannya disisipkan setelah berhasilnya Islamisasi di Sulawesi Selatan, Gowa membuat kesepakatan berikut dengan penguasa-penguasa lain sebelum diperkenalkannya Islam: “Siapa saja yang menemukan jalan lebih baik harus memberitahu penguasa-penguasa lain yang ikut terlibat dalam perjanjian ini” (Sejarah Bone [t.t]:104; Abdurrazak 1969b:20).
Bahasa Arab tariq dan tariqa [jamak, turuq], berarti “sebuah jalan’, adalah istilah yang digunakan untuk jalan Sufi atau sebuah metode atau aliran mistis yang merupakan penuntun untuk melalui jalan itu (Trimingham 1971:312).
Sementara terlihat jelas bahwa apa yang dibahas Bone dan Gowa adalah sebuah jalan “religius” yang lebih baik, (para) penulis kronik abad ke-17 juga ingin memperlihatkan secara halus bahwa Sufisme adalah hal yang diperdebatkan.
Maka, perang-perang berikutnya yang dilancarkan Gowa terhadap tetangganya berdalih untuk mengabarkan pada penguasa lain bahwa Islam, khususnya Islam Sufi, adalah “sebuah jalan yang lebih baik”.
Awalnya, Gowa mengajak Bone dan Soppeng untuk memeluk Islam, namun keduanya menolak.
Menurut salah satu sumber, Soppeng menolak dengan mengirimkan sebuah gulungan kapas dan roda putar (Noorduyn 1955:94-5), ejekan tradisional terhadap maskulinitas seseorang.
Gowa kemudian menyerang Soppeng lewat Sawitto pada tahun 1608 yang mengawali apa yang dikenal dengan “Perang Islam” (musu’ aséllénnge dalam bahasa Bugis, bundu’ kasallanga Makassar).
Di daerah Pakenya, tentara Gowa dikalahkan oleh Téllumpocco setelah tiga hari bertempur dan dipaksa untuk mundur.
Tiga bulan kemudian, Gowa menyerang lagi, kali ini melawan Wajo. Sebagaimana yang terjadi di masa lalu, beberapa daerah bawahan (palili’) Wajo, seperti Akkotengéng, Kera dan Sakuli, meninggalkan Wajo untuk beralih pada kerajaan yang mereka percaya kekuatannya lebih besar. Namun sekali lagi, Téllumpocco tetap bersatu dan mengalahkan Gowa (Noorduyn 1955: 95).
Sebagai kerajaan Islam pertama di Sulawesi Selatan, Luwu menjadi sekutu Gowa karena alasan politis dan religius.
Luwu menyerbu Peneki di Wajo namun dapat dipukul mundur setelah lima hari. Meski awalnya Téllumpocco berhasil, Gowa tidak surut dalam peran barunya sebagai penjaga Islam dan akhirnya berhasil pada tahun 1609 memaksa Sidenreng memeluk agama baru ini.
Setelah keberhasilan ini, kerajaan Bugis lain mengikuti dengan cepat: Soppeng tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan akhirnya Bone tahun 1611.
Penguasa Bone La Ténrirua menyeru rakyatnya untuk menghindari perang dengan Gowa dan memeluk Islam, namun saran ini ditepis mentah-mentah hingga rakyat Bone tidak hanya menolaknya tetapi juga menolak Arumpone.
Arumpone yang baru, Arung Timurung La Ténripale, memimpin pasukan Bone melawan Gowa namun berhasil dipaksa menyerah. Sesuai dengan tradisi perjanjian di Sulawesi Selatan, Gowa tidak campur tangan untuk menempatkan kembali La Ténrirua sebagai Arumpone meski dia ingin berdamai, namun tetap mempertahankan pilihan rakyat Bone, La Ténripale (Abdurrazak 1969:20-1; Abdurrahim 1974:15-6; Noorduyn 1955:95-8). (selfi/fajar)