FAJAR.CO.ID -- Serangan balasan Ukraina sejak awal Juni 2023, disorot oleh berbagai pihak, termasuk beberapa media arus utama, sebagai aksi yang mengalami stagnasi, bahkan ada yang menyebutnya sebagai kegagalan.
Sebelumnya, serangan balasan Ukraina dilakukan dengan harapan tinggi, didukung oleh persenjataan canggih dari Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Meski awalnya bergejolak, serangan tersebut mengalami kemunduran karena beberapa faktor kunci.
Serangan itu diluncurkan di wilayah Ukraina yang diduduki oleh Rusia, mengambil tiga jalur utama, satu di Ukraina timur dan dua di sebelah selatan. Tujuan awalnya adalah untuk membagi pasukan Rusia dan memutus jalur suplai ke Semenanjung Krimea.
Meskipun Ukraina berhasil maju perlahan ke wilayah yang dikuasai Rusia selama beberapa bulan pertama, namun kemunduran terjadi karena pertahanan Rusia yang terorganisir baik, termasuk ranjau darat, saluran parit pertahanan, dan persenjataan antitank yang memadai.
Selain itu, serangan drone Rusia sangat efektif, merusak persenjataan Barat yang dikirim ke Ukraina, termasuk tank dan kendaraan lapis baja. Kemandekan juga dipengaruhi oleh ketidaksetujuan sejumlah politisi Partai Republik di Amerika Serikat untuk mengucurkan anggaran militer yang besar.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, bahkan terbang ke Amerika Serikat untuk memohon dukungan dari politisi AS. Di pihak Rusia, koordinasi internal yang baik dan dukungan persenjataan dari Barat membantu memperkuat garis pertahanan mereka.
Dengan kegagalan serangan Ukraina, diperlukan strategi baru dan komitmen dukungan internasional yang diperbaharui. Ketergantungan Ukraina pada persenjataan Barat mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS, namun beberapa bantuan penting masih belum dapat dioperasikan, seperti pesawat F-16.