FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Indonesia akan mengadakan hajatan besar-besaran, yakni pilpres 2024. Konstestasi ini selalu dikaitkan keterlibatan negara adikuasa AS dan Tiongkok.
Indonesia memiliki peranan penting di Asia Pasifik. Apalagi adanya persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan ini membuat Indonesia terpaksa berada dalam posisi penting. Kedua negara adikuasa ini sangat diuntungkan jika mampu "menguasai" Indonesia.
Salah satu cara untuk menguasainya adalah melalui pemilu. Terutama saat pilpres. Siapa capres yang lebih condong untuk kepentingan AS atau Tiongkok. Ada pengaruh AS dan Tiongkok dalam setiap capres.
Indonesia berusaha menjaga hubungan harmonis dengan AS maupun Tiongkok. Hal ini tentunya dapat dilihat dari aktivitas bantuan dan investasi dari kedua negara tersebut dalam berbagai sektor. Jika dilihat dari kerja sama bilateral, pemerintah saat ini diduga lebih condong ke Tiongkok.
Itu dapat dilihat dari investasi yang masuk. Tiongkok menguasai sektor tambang. Namun hasilnya, perekonomian dapat dirasakan seperti saat ini. Ekonomi tumbuh namun masyarakat terhimpit berbagai persoalan.
Berbeda ketika era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Tiongkok tak terlalu mendominasi perekonomian Indonesia. Saat itu, perekonomian bisa tumbuh hingga 6 persen. Secara prosentase, pertumbuhan ekonomi selama 2004-2013, rata-rata ekonomi Indonesia tumbuh 5,78 persen sementara pada 2014-2022 hanya sebesar 4,12 persen.
Dosen Departemen HI FISIP Unhas Ishaq Rahman, menjelaskan Indonesia selalu dilirik pelbagai negara. Selama ini ada dua negara yang selalu menjadi garda terdepan dalam melakukan pendekatan dengan Indonesia, yakni Tiongkok dengan Amerika Serikat.
Kedua negara tersebut memiliki kepentingan berbeda. Tiongkok dengan pendekatan investasi dan tambang. Sedangkan untuk Amerika Serikat terkait dengan penjualan Alutsista. Kedua negara ini selalu menjadi pendukung dalam pelbagai pihak.
Sehingga, tidak jarang banyak pihaknya yang menduga akan ada campur tangan negara luar untuk pemilu serentak. Namun hal ini sangat sulit dibuktikan, karena harus melakukan pengecekan terhadap semua transaksi untuk menelusurinya.
"Yang bisa dilihat adalah jika ada yang menang dalam pemilu (presiden) akan banyak kerja sama dengan negara tersebut. Namun hal tersebut juga akan sulit dibuktikan karena terkait dengan kepentingan dan kebutuhan," kata Ishaq, Selasa, 2 Januari.
Lebih lanjut Ishaq menuturkan bukan hanya Tiongkok dan Amerika Serikat saja yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Negera super power lain yang menjadi Rusia.
Dimana negara yang tergabung dengan blok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) selalu mengajak Indonesia ikut bergabung.
"Rusia dan Tiongkok saling support. Sehingga jika ada Tiongkok akan secara otomatis akan mendapat dukungan Rusia," bebernya.
Harapan Pengusaha
Sementara kalangan pengusaha tak terlalu menyoroti siapa di balik capres. Terpenting, setelah menang pilpres, kondisi ekonomi yang stabil sangat diharapkan.
Sekretaris DPD Real Estate Indonesia (REI) Sulsel Khoiruman, mengatakan tahun politik ini menjadi perhatian penting bagi para pengusaha, termasuk sektor properti. Semua mata melihat apa yang akan terjadi bila mana ada perubahan kepemimpinan ke depan.
"Siapa yang akan menakhodai Indonesia, akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi ke depan, sehingga baik pemilik modal-investor menunggu
sampai selesai pemilihan," jelas Khoiruman.
Khoiruman berharap agar pemerintah membuat kebijakan baru yg mampu mendorong roda ekonomi tetap jalan. Para kontestan juga diharapkan santun dan saling menjaga kampanye yang sehat dan saling menguatkan. Kemudian dihindari ada provokasi yang berdampak deadlock.
"Sebab akan sangat menghemat pertumbuhan ekonomi, dampaknya akan fatal. Jika ekonomi melemah, menimbulkan banyak pengangguran, akan berdampak negatif," katanya.
Sementara Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kerja Sama Usaha DPD REI Sulsel Abdul Salam, mengatakan bahwa ekonomi yang stabil sangat diharapkan ke depan.
"Sudah berapa tahun belakang ini hampir semua sektor makro sangat jauh dari harapan," kata Abdul Salam. (edo-ams/dir)