FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Dukungan dari tokoh elite Nahdlatul Ulama (NU) dalam Pilpres terlihat terbelah menjadi tiga faksi. Tidak hanya persaingan yang ketat di Jawa Timur, tetapi rivalitas juga akan terasa di Sulsel.
Analis politik dari Unhas, Prof Sukri Tamma mengemukakan, pertarungan untuk memperebutkan basis NU saat ini sangat sengit. NU cenderung mengikuti patron, tokoh, atau elitenya, dan kebetulan basis NU terkonsentrasi terbesar di Jawa Timur.
Melihat dari sisi ketokohan dalam setiap pasangan calon (paslon), terdapat daya tarik masing-masing. Misalnya, paslon nomor urut 3 yang didukung oleh Yenny Wahid, putri almarhum Gusdur yang merupakan tokoh kharismatik dan mantan ketua PBNU.
Di sisi lain, paslon nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, merupakan anak yang lahir dari NU dan memiliki dukungan banyak tokoh NU, termasuk Said Aqil. "Kemudian banyak tokoh NU di situ. Apalagi Said Aqil ada di situ. Jadi pasti sangat kuat," kata Sukri.
Sementara paslon nomor 02, Khofifah Indar Parawansa, dianggap sebagai pemenang potensial di Jawa Timur dengan basis dukungan utama dari NU, terutama melibatkan perempuan melalui organisasi Fatayat NU.
Meskipun belum ada survei yang menunjukkan kecenderungan dukungan NU secara pasti, Sukri menyatakan bahwa tarikan dari ketiga tokoh ini sangat kuat, terutama mengingat Jawa Timur memiliki basis suara yang besar.
Perebutan dukungan NU di Jawa Timur dianggap penting karena wilayah lain di Jawa sudah didistribusikan ke pasangan calon lain.
Apalagi, sulitnya mengklaim Jawa Tengah sebagai basis Ganjar, Jawa Barat dekat dengan Prabowo, dan Jakarta memiliki Anies Baswedan membuat Jawa Timur menjadi pusat perhatian.
Menurut Sukri, tradisi NU yang membutuhkan tokoh kunci membuat keberadaan tokoh ini menjadi daya tarik utama di wilayah tersebut.
"Karena orang tahu tradisi NU itu butuh tokoh-tokoh kunci maka keberadaan tokoh ini menjadi salah satu daya tarikya. Jadi masih sama kuat kecenderungannya," ujarnya.
Namun, kondisi di Sulawesi Selatan (Sulsel) tidak seketat di Jawa Timur. Dalam konteks ideologi seperti Jawa Timur tidak sama. Meskipun tradisi NU, patuh pada elite agamanya itu menjadi sangat diajarkan dan ditanamkan selama ini. Meskipun tidak selalu diliat kecenderungan itu.
"Karena di Sulsel itu, selain ada NU ada juga hal lain, seperti tradisi Bugis, Makassar. Tradisi itu masih kuat sehingga masih tercampur," terang Dekan Fisip Unhas ini.
Meski NU dikenal tidak pernah bersatu sepanjang sejarahnya, Tim Pemenangan Daerah (TPD) AMIN Sulsel optimis dengan dukungan dari PKB dan Muhaimin Iskandar, dukungan untuk AMIN akan lebih besar.
Hal ini karena Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar adalah representasi ummat. Pemahaman keagamaan hingga hal-hal lainnya itu dikuasai karena kedua tokoh ini berproses dari bawah. Mereka bukan tokoh instan, sehingga masyarakat, terutama di NU dinilai pasti semakin bangga dan akan berpihak pada AMIN.
"Jadi jika tokohnya terpecah yah tidak ada masalah. Namanya kan dinamika politik. Biasa aja," ujar Bendahara Tim Pemenangan Daerah (TPD) AMIN Sulsel, Azhar Arsyad.
Ketua DPW PKB Sulsel ini juga yakin 89 persen NU akan berpihak ke AMIN. "Di Jawa Timur juga kenapa tidak. Apalagi Muhaimin Iskandar tokoh Jawa Timur. PKB juga partai pemenang di sana," imbuhnya.
Ia juga optimis secara nasional AMIN akan memperoleh 60-70 persen dari NU. "Saya kira orang sudah cerdas melihat siapa yang pantas," terangnya.
Wakil Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran Sulsel, Mudzakkir Ali Jamil, menyatakan bahwa sementara PBNU tidak terlibat secara langsung dalam politik praktis, anggota NU memiliki hak politik individu.
Dia mengamati pengaruh Khofifah di kalangan NU sangat kuat dan optimis bahwa warga NU, terutama di Sulsel, akan cenderung memilih Prabowo-Gibran di Pilpres. Meskipun dinamika politik dapat memecah dukungan tokoh NU, dia yakin bahwa pemilih sudah cerdas dalam menentukan pilihan.
"Nah, dengan bergabungnya Ibu Khofifah kita optimis keunggulan Prabowo Gibran di Jatim akan semakin besar," ujar politisi Partai Gelora Sulsel itu.