Membedah Pemikiran Bahtiar Baharuddin dalam Mengembalikan Kejayaan Sulsel 

  • Bagikan
Hafid Abbas (Foto: Selfi/Fajar)

Hal ini didukung letaknya yang strategis; mempunyai pelabuhan besar sehingga banyak disinggahi pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, India, Denmark dan negara-negara lainnya, sehingga Makassar di kala itu telah menjadi salah satu pusat perdagangan internasional. 

Peran itu semakin kuat setelah jatuhnya Kerajaan Malaka ke tangan Portugis pada 1511 yang menyebabkan pusat perdagangan dan perekonomian yang menghubungkan Asia dan Eropa di Johor Malaka beralih ke Kerajaan Gowa di Makassar. 

Peran pelabuhan Makassar kemudian semakin vital seiring dengan tumbuhnya pusat-pusat perdagangan dan perekonomian di kerajaan-kerajaan Islam seperti: Pattani (Thailand), Pahang, Ujung Tanah di Semenanjung Malaka, Riau, Minangkabau dan Aceh di Sumatera, Banjarmasin di Kalimantan, Demak di Jawa, dst. 

Pelabuhan Makassar di kala itu menjadi jembatan perdagangan dan perekonomian (trade and economic centers) Asia dan Eropa. Gowa secara resmi menjadi Kesultanan Islam pada November 1607 (The Bugis, p. 135). 

Meski kesaksian sejarah itu telah terlewati sekian abad silam, semangat kebesaran Kerajaan Gowa kembali digelorakan oleh Gubernur Baharuddin pada forum pertemuan dengan aktor-aktor ekonomi daerah yang dihadiri pula sejumlah mitra dan investor dari dalam dan luar negeri. 

Kedua, di era Orde Baru, sebagai Gubernur Sulsel, Achmad Amiruddin (1983-1993), telah memperkenalkan konsep ekonomi modern melalui pemetaan pewilayahan komoditas, perubahan pola pikir, dan “petik-olah-jual”, menanamkan visi ekonomi dan telah menjadikan Sulsel sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di bagian timur Indonesia dan lumbung pangan nasional. 

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan