Apa yang menyebabkan misalnya, Petronas, satu perusahaan BUMN Malaysia, pada 2009 telah memperoleh laba sebesar 20 miliiar USD, tiga kali lebih besar dari laba 158 BUMN Indonesia termasuk Pertamina yang hanya berkisar 7 miliar USD. Padahal pasar domestik Indonesia 11 kali lebih besar dari Malaysia.
Apa pula yang menyebabkan satu negara kecil, Singapura, yang luas wilayah Kabupaten Bone tujuh kali lebih besar dari negara kecil ini, namun pada 2018, income per capita-nya diukur dengan purching power parity sudah mencapai USD104.000 atau setiap bulan warga Singapura sudah berpendapatan rata-rata Rp134 juta, dan negara kecil ini bahkan pada 2023 sudah berinvestasi sebesar Rp398,7 triliun.
“Satu lagi, apa yang menyebabkan satu institusi kecil, Columbia University (CU), New York, yang jumlah mahasiswanya hanya 33.032 (2018), jauh lebih kecil dibanding UI yang sudah berjumlah 46.771 ribu (2018), namun CU sudah mencetak 101 pemenang Hadiah Nobel (2021) dari berbagai bidang keilmuan,” ujarnya.
Dia mencoba membandingkan Indonesia dengan sekitar 4700 perguruan tingginya dengan total anggaran tahunannya Rp80,22 triliun (2023), namun belum mampu menghasilkan seorang pun pemenang nobel.
CU memiliki anggaran tahunan (annual budget) sebesar USD5,8 miliar dan dana abadinya (endowment fund) sebesar USD19,1 miliar (2022) atau mengelola dana sebesar Rp386 triliun setahun (Rp15.500 per USD) atau 4,8 kali lebih dari besar dari seluruh anggaran pendidikan tinggi di Indonesia.
Terakhir, menarik ditelaah pandangan Peter Drucker (1999) dalam penunaian mandat KESS bahwa sesungguhnya tidak ada negara miskin atau kaya, tidak ada negara besar atau kecil, yang ada adalah ada yang dikelola dengan baik dan ada yang tidak (undermanaged).