Kisah cinta antara Datu Museng dan Maipa Deapati punya banyak sisi menarik untuk dibahas. Termasuk kondisi makamnya yang berlokasi di sekitar Pantai Losari.
Muhsin Mubarak, Makassar
Rabu 17 Januari 2023, ketika waktu menunjukkan pukul 12.37 Wita, penulis mengunjungi salah satu situs makam dari kisah tersohor di Makassar. Adalah Datu Museng yang memiliki nama asli I Baso Mallarangang Datu Busing.
Makam ini terletak di Jalan Datu Museng, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, tepat di samping warung Coto yang cukup terkenal di sekitar anjungan Pantai Losari.
Diapit oleh dua bangunan kokoh dan besar, Makam yang dibanguni rumah berukuran kecil itu terlihat terawat. Bangunan berwarna hijau itu dikelilingi pagar besi hijau agar tidak sembarang orang masuk ke dalamnya.
Salah seorang warga bernama HJ Tingo mengatakan, hampir setiap hari makam tersebut didatangi oleh beberapa orang.
"Setiap hari, ada kalanya sepuluh orang, satu mobil," ucapnya saat ditemui.
Dia bercerita, pada Rabu pagi, ada orang yang datang berziarah. Dia menduga orang itu hanya warga Makassar karena menggunakan sepeda motor.
Biasanya, yang datang berziarah adalah orang-orang dari daerah luar Makassar. Seperti Pangkep, Soppeng, Parepare, bahkan luar Sulawesi.
Mereka yang datang itu acapkali membawa bunga, berdoa, dan berzikir di makam tersebut.
Selain itu, juga membawa nasi, songkolo (kukus), ketupat, bahkan membawa kambing yang telah dipotong sebelumnya.
Orang-orang yang datang itu, mereka disebut memiliki nazar. Misalnya ada anggota keluarga yang sakit, kemudian bernazar jika sembuh maka datang berziarah ke makam Datu Museng.
"Kalau orang ada nazarnya mungkin," kata wanita yang sudah 20 tahun lebih menjajakan dagangan di dekat makam Datu Museng itu.
Sekadar diketahui, Datu Museng yang konon disebut putra bangsawan kerajaan Gowa dan Maipa Deapati putri bangsawan Kerajaan Sumbawa telah tertanam di benak orang-orang Makassar.
Nama dari kedua tokoh legendaris ini diabadikan sebagai nama jalan di Kota Makassar. Nama jalan keduanya dibuat berdampingan dan saling berdekatan.
Meskipun banyak yang menyebut pasangan suami istri ini dimakamkan di liang lahat yang sama, menurut cerita M. Safri (70), keduanya dimakamkan di tempat yang berbeda.
Diungkap pemegang kunci makam Datu Museng itu, makam Maipa Deapati berada di jalan Maipa, di antara asrama putri RS Stella Maris dan Hotel Aryaduta Makassar.
Membuka kembali lembaran kisahnya, Datu Museng merupakan anak yatim piatu sejak usia tiga tahun, kemudian dibawa kakeknya bernama Addengareng atau Daeng Erang ke Sumbawa.
Addengareng bersama Datu Museng melarikan diri menyebarangi lautan menuju negeri Sumbawa, akibat dari politik adu domba yang dilancarkan penjajah Belanda di tanah Gowa.
Kondisi tanah Gowa saat itu sedang bergejolak dan tidak kondusif lagi untuk dijadikan tempat tinggal yang aman bagi masyarakat.
Di sinilah awal kisah Datu Museng dan Maipa Deapati tumbuh. Mereka tumbuh besar bersama-sama di sebuah sekolah mengaji bernama Bale Mampewa di Sumbawa.
Maipa Deapati yang merupakan anak Raja Datu' Taliwang senang bermain congklak bersama Datu Museng saat istirahat belajar mengaji.
Keduanya sempat dipisahkan oleh jarak ketika Maipa Deapati kehilangan cincin di tempat belajar mengajinya.
Menariknya, yang menemukan cincin tersebut adalah Datu Museng. Dia emoh mengembalikan cincin itu meskipun dicari bukan kepalang oleh Maipa Deapati dan Raja.
Diyakini Datu Museng, cincin itu nantinya akan menjadi wasilah seorang Maipa Deapati menjadi istrinya. Jika waktunya sudah tepat.
Datu Museng yang mengetahui cintanya kepada Maipa Deapati terhalang oleh strata sosial, atas anjuran kakeknya, dia berangkat ke Mekah untuk berguru.
Dia berangkat ke Mekah menggunakan perahu bernama I Lolo Gading yang merupakan buatannya sendiri. Di sana, kurang lebih satu bulan lamanya, Datu Museng mendapatkan ilmu "Bunga Ejana Madinah".
Terpisah oleh jarak dan waktu, Maipa Deapati bukannya melupakan Datu Museng, dia justru semakin rindu terhadap laki-laki kelahiran Gowa itu. Begitu pun sebaliknya.
Saat pulang dari tanah rantau, cinta Datu Museng nyaris bertepuk sebelah tangan. Pasalnya, Maipa Deapati dijodohkan dengan seorang pangeran Sumbawa bernama I Manggalasa.
Singkat cerita, Maipa Deapati jatuh sakit. Sang Raja yang tidak tega melihat putrinya terbaring sakit pun melakukan sayembara.
Siapapun yang mampu mengobati anaknya, jika dia laki-laki maka akan dijadikan menantu atau suami dari Maipa Deapati.
Datu Museng yang dilanda rindu setengah mati maju dan berhasil mengobati Maipa Deapati. Hanya saja, karena dia dianggap tidak layak menjadi pendamping Maipa Deapati, Raja mengingkari janjinya.
Maipa Deapati dibisiki oleh Datu Museng untuk mandi di sebuah permandian yang kira-kira jaraknya 3 km dari kerajaan.
"Akhirnya sembuhlah Maipa," ucap Safri.
Kecewa hanya dianggap sebagai saudara dengan Maipa Deapati, Datu Museng memanfaatkan perjalanan menuju permandian untuk mendapatkan kekasihnya.
Tepatnya Jumat malam, Maipa Deapati yang dikawal oleh prajurit kerajaan beserta dayang-dayangnya bergegas ke permandian yang dimaksud.
Perjalanan mereka diiringi oleh pukulan gendang dan disinari oleh cahaya obor yang dibawa oleh prajurit kerajaan.
Di tengah perjalanan, ada guntur, kilat, hingga hujan lebat, semua orang kelabakan. Dan, Maipa Deapati hilang tanpa jejak dari rombongan.
"Mereka cari Maipa Deapati, ternyata dia pergi ke rumah Datu Museng. Tidak diketahui apakah Maipa Deapati ke sana atau Datu Museng yang menjemputnya," tukasnya.
Datu Museng dan Maipa Deapati Kabur
Satu pekan berlalu, Raja mulai resah dan menduga anaknya ada di tangan Datu Museng. Dia pun mengutus pasukannya datang ke rumah Datu Museng.
Dari cerita Safri yang merupakan guru mengaji di Makassar itu, ada tiga gelombang pasukan masing-masing berjumlah 20 datang hendak menjemput Maipa Deapati.
Namun, mereka takluk di tangan kakek Datu Museng, Addengareng. Terakhir, pangeran yang dijodohkan dengan Maipa Deapati datang dengan pasukannya.
Mereka juga dikatakan Safri takluk di tangan Addengareng. Tersisa I Manggalasa. Saat kembali ke Sumbawa, dia tidak berani lagi muncul di hadapan Raja karena merasa gagal.
"Langsung kembali ke Lombok," tandasnya.
Tidak ingin berlarut-larut, Raja mengutus lagi para pembesar kerajaan untuk datang ke kediaman Datu Museng dengan maksud berbicara baik-baik. Meminta sang putri kembali ke kerajaan.
Singkat cerita, dinikahkanlah Maipa Deapati dengan Datu Museng. Sehari setelah Maipa dijemput orang kerajaan. 40 hari 40 malam mereka melakukan pesta.
Kembali ke Ujung Pandang
Setelah lama menikah, tiba-tiba ada perintah dari Tumalampoa Gubernur Belanda Sinkelaar di Benteng Ujung Pandang (Saat ini Benteng Rotterdam).
Sinkelaar memainkan modus Datu Jarewe disebut menjadi penguasa di kerajaan Sumbawa. Pria yang diketahui orang dekat Datu Museng itu menebar ancaman di Sumbawa.
Olehnya itu Datuk Museng diutus ke Ujung Pandang dengan tujuan menyelesaikan masalah.
"Datuk wahai anakku saya perintahkan kamu ke Ujung Pandang untuk menyelesaikan ini masalah," kata Raja.
Jadi, Datu Museng bersama istrinya Maipa Deapati berangkat ke ujung pandang dengan pengawal sekitar 40 orang.
Orang-orang di Ujung Pandang saat menjemput mereka kaget terkagum-kagum melihat pasangan Datu Museng dan Maipa Deapati. Ketampanan dan kecantikan keduanya tidak tertandingi.
Tiga bulan di Ujung Pandang, terkuak alasan sesungguhnya Belanda menebar ancaman bakal menguasai Kerajaan Sumbawa.
Gubernur Belanda Sinkelaar terpikat oleh kecantikan Maipa Deapati. Dia jatuh cinta setengah mati terhadap wanita yang telah bersuami itu.
Terlebih, dorongan dari orang-orang di sekelilingnya, dia menyebut sebuah pencapaian luar biasa jika Sinkelaar berhasil merebut Maipa Deapati dari tangan Datu Museng.
Utusan dari Belanda, dikatakan Safri, saat melihat Maipa Deapati pertama kali, pingsan karena saking cantiknya putri Raja Sumbawa itu.
Beberapa kali percobaan dilakukan Gubernur Belanda, namun tidak pernah berhasil merebut Maipa Deapati.
"Haram tubuhku disentuh orang Belanda," Safri menyampaikan ucapan Maipa Deapati di depan penulis.
Bahkan, kata dia, Maipa Deapati menawarkan syarat tidak masuk akal kepada utusan Belanda. Jika mereka bisa memindahkan Pantai Losari ke Pulau Lae-lae, begitupun sebaliknya, dia boleh disentuh Sinkelaar.
Sampai pada akhirnya, Belanda memerintahkan perang karena menganggap Datuk Museng perusuh. Karaeng Galesong yang dihasut Belanda akhirnya menjadi sekutu untuk menyingkirkan Datuk Museng.
"Orang-orang Museng hanya 40 orang dari Sumbawa," Safri melanjutkan ceritanya sambil menghela nafas.
Belanda dan Karaeng Galesong akhirnya mengadakan pertemuan, karena Datu Museng dianggap tidak bisa ditolerir sebab tidak ingin menyerahkan istrinya ke Belanda.
Ditentukanlah hari untuk menyerang Datuk Museng di kediamannya. Rumah pribadi tapi memang besar saat itu.
Datu Museng yang mengetahui hal itu, juga melakukan persiapan menyambut serangan Belanda dan sekutunya. Dia hanya memiliki satu senjata berupa keris bernama "mata tarampangna".
Sampai pada akhirnya Belanda sampai di rumah Datu Museng, Museng diminta keluar dari rumahnya. Belanda terus melakukan serangan. Orang-orang Datuk Museng pun satu persatu gugur.
"Dan, akhirnya yang tersisa, Datu Museng sibundu (berkelahi) dengan Karaeng Galesong (saya tidak tahu Karaeng Galesong yang pertama atau kedua)," terangnya.
Lama berkelahi, tidak ada yang terkena sabetan senjata. Lama-lama Karaeng Galesong mundur perlahan karena secara fisik kalah oleh Datu Museng.
Dia pulang ke Benteng Ujung Pandang dan meminta bantuan ke Belanda. Di saat yang sama, Maipa Deapati yang menyadari suaminya akan kalah, dia minta Datu Museng untuk menusuk lehernya. Dibandingkan jika dirinya diambil Belanda.
Dengan berat hati Datu Museng menusuk leher Maipa Deapati. Mereka hanya menikmati tiga bulan atau tiga bulan purnama yang cukup indah di ujung pandang.
"Mereka saling berjanji, Datu Museng bilang tunggu saya di waktu dhuhur, kalau saya tidak ada, tunggu waktu ashar, kalau tidak, tunggu saya diwaktu magrib, kita nanti ketemu. Dia menutup luka pada leher Maipa Deapati dengan selendang merah, tidak ada darah keluar, dia didudukkan di paladang (teras rumah kayu)," Safri hampir pada akhir ceritanya.
Keris yang dia pakai, Datu Museng lemparkan ke Sumbawa dengan bendera dan selembar surat bertuliskan "Maipa telah tiada".
Di Sumbawa, sementara duduk di depan serambi, Raja mendapatkan firasat. Jatuh kaca di serambi. Dia merasa ada sesuatu hal yang terjadi. Dan benar saja, putrinya meninggal di Ujung Pandang.
Mama susu Maipa Deapati, satu-satunya yang hidup dari 40 orang setelah peristiwa itu. Dia kembali ke Sumbawa dan membawa kabar itu.
Tersisa Datu Museng sendiri menghadapai Belanda. Dia membuat parit yang luas dan dalam di sekitar rumahnya, jadi ketika Belanda datang mereka terjatuh ke dalam parit.
Masuk waktu dhuhur, Datu Museng menyempatkan salat. Setelah itu mereka lanjut berkelahi. Setelah masuk waktu ashar, dia salat lagi dan lanjut berkelahi lagi.
Diperkirakan hampir seribu orang Belanda mati di tangan Datu Museng. Hampir masuk waktu magrib, Datu Museng tidak sempat lagi salat. Karena pasukan Belanda semakin banyak.
Atas alasan janji terhadap istrinya tidak ditepati, dia melepas baju dan jimatnya. Dengan begitu, dia tidak lagi kuat seperti sebelumnya dan meminta Karaeng Galesong menusuknya dengan badik.
Datu Museng dan istrinya Maipa Deapati meninggal di tangan kekejaman Belanda pada 4 Maret 1765.
Siang itu, awan tebal hitam sementara menyelimuti kota daeng. Menandakan langit sebentar lagi akan kembali menumpahkan air matanya.
Air mata dari langit itu menangisi perjuangan Datu Museng dalam mempertahankan cintanya terhadap seorang istri yang sangat dicintainya, Maipa Deapati. (Muhsin/Fajar)