Bahkan pada satu kesempatan tamparan Muhaimin itu lebih pedis: “ini saya ragu, kalau kita tebak-tebakan singkatan kayak anak SD atau SMP. Atau jangan-jangan-jangan ijazah palsu kita di sini palsu semua”.
Terus terang pernyataan terakhir Muhaimin ini tidak saja menusuk jantung Gibran. Bahkan kemungkinan sang ayah juga yang sedang menonton di ruang sana. Maklum masalah ijazah palsu ini telah lama di perdebatkan di ruang persidangan dan telah banyak menyita perhatian publik.
Intinya pada debat cawapres kali ini isu etika kembali menjadi salah satu isu utama. Baik pada tataran konsep bahwa semua kebijakan harusnya berdasar etika, termasuk proses pencalonan, hingga ke kebijakan lingkungan hidup. Tanpa menghiraukan etika semua akan bertendensi menghalalkan segala cara.
Tapi tidak kalah pentingnya adalah bahwa etika pada acara debat itu harus dipegang. Ketika para capres/cawapres menyampaikan atau mempertanyakan ide, gagasan dan kebijakan maka sepedis apapun itu biasa dalam debat poltiik. Yang tidak etis adalah gestur cawapres no. 2 perlihatkan kepada cawapres no. 3, baik cara berkata maupun gerakan tubuh yang dinampakkan.
Taubat Ekologis ala Muhaminin
Konsep taubat ekologis sesungguhnya pertama kali disampaikan oleh Pope Franciss beberapa waktu yang lalu. Istilah ini kemudian menjadi populer di kalangan aktifis lingkungan. Tentu baik secara keilmuan, apalagi secara agama konsep taubat ekologis ini menjadi sangat penting dan mendasar.
Realita ancaman ketidak adilan (environmental injustice) dan pengrusakan lingkungan hidup menjadi isu penting dalam debat cawapres tadi. Bahkan cawapres no urut 3 dari statemen pembukaan pun sudah mengutip ayat: “kerusakan telah nampak di daratan dan di lautan akibat apa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia”. Muhaimin juga membaca ayat ini di statemen penutupnya.