Soal Pajak Hiburan di Makassar, AUHM Minta Dikaji Ulang, Bapenda Bilang Begini

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR - Ketua Asosiasi Usaha Hiburan Makassar (AUHM), Zulkarnain Ali Naru mengatakan, pengenaan Pajak Hiburan di Kota Makassar selama ini rancu dan salah sasaran. Harus dikaji ulang. Bahkan dalam penetapannya, masih banyak yang keliru menafsirkannya.

"Kenapa saya mengatakan demikian ? Karena melihat fakta selama ini, yang dikenakan pajak hiburan untuk usaha Bar, Diskotik dan Kelab Malam, cendrung pada minuman beralkoholnya, padahal minuman beralkohol itu sama sekali bukan Pajak Hiburan melainkan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari Pajak Restoran. Dasar pengenaan pajaknya untuk minuman beralkohol juga tidak bisa melewati ambang batas 10 persen sesuai ketentuan undang-undang," kata Zul kepada wartawan, Senin (22/1/2024)

Lalu, apa saja yang masuk kategori Pajak Hiburan ?

Zulkarnaen mejelaskan bahwa baik dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Undang Undang penggantinya sekarang yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Sebagaimana yang telah ia kaji dan berdasarkan pengalamannya selama lebih kurang 30 tahun menjabat pengurus AUHM, Zul mengatakan bahwa Pajak Hiburan itu sebenarnya bagi usaha Diskotik, Kelab Malam, Bar (Pub) adalah 'Pajak Tontonan' dimana obyek yang dikenakan untuk pajak hiburan adalah Tiket (Harga Tanda Masuk) termasuk minumum charge/Firs Drink Charge (FDC), Food dan Baverage (F&B), Charge VIP Box, Charge Sofa dan Table, kartu keanggotaan (Membership), Service Charge, serta Charge Room.

Namun hingga saat ini, obyek pajak tersebut luput dari pengawasan pihak Bapenda, karena bagi usaha Diskotik, Kelab Malam dan Bar (Pub), umumnya hampir semua menetapkan minumum charge kepada konsumen, khususnya FDC, Food dan Baverage (F&B), Charge VIP Box, Charge Sofa dan Table hingga Charge Room, Service Charge, Kartu Keanggotaan (Membership) dan sejenisnya.

"Jadi selama beberapa tahun ini, (khususnya sejak kepemimpinan Irwan Adnan selaku Kepala Bapenda), dapat saya katakan Bapenda sangat keliru menetapkan Pajak Hiburan karena yang dikenakan pajak hiburan justru total penjualan dari hasil 'makanan dan minuman' khususnya bagi usaha hiburan yang menjual minuman beralkohol dengan pengenaan tarif pajak sebesar 35 persen (tarif pajak lama),"kata Zul

"Sementara minuman beralkohol itu bagian dari Pajak Restoran. Jadi, ini harus kita luruskan mulai dari sekarang. Jangan lagi ada 'kesalahan fatal' sehingga para pengusaha dirugikan karena diwajibkan membayar pajak hiburan dari total hasil 'penjualan akhir', termasuk minuman beralkohol (minol) dikenakan sebesar 35 persen beserta hasil penjualan makanan dan minuman non minol pada usaha hiburan. Padahal minol itu adalah Pajak Restoran yang hanya wajib dibayar pajaknya sebesar 10 persen," lanjut Zul.

Lebih jauh Zul mengharapkan agar pihak Bapenda bisa turun langsung ke usaha-usaha hiburan melakukan visitasi dan mengkaji ulang potensi pajak hiburan, utamanya usaha-usaha hiburan yang menerapkan penjualan tiket atau menggunakan minimum charge FDC, Food dan Baverage (F&B), Charge VIP Sofa dan Table, Charge Room dan sejenisnya.

"Jadi pada hakikatnya, pajak hiburan itu adalah 'pajak tontonan' dan obyeknya adalah hasil penjualan tiket masuk, minumum Charge (FDC), Food dan Baverage (F&B), Charge VIP. Box, Charge Sofa dan Table, Charge Room, Membership dan Service Charge. Sedangkan pajak restoran itu adalah pajak 'makanan dan minuman'. Itu perbedaan sederhananya," ungkapnya.

Untuk itu, Zul berharap agar pihak Bapenda bisa menata ulang dengan menetapkan kewajiban 'satu usaha wajib miliki dua jenis pajak yang berbeda obyek'. Artinya, tiap usaha hiburan baik usaha Diskotik, Kelab Malam dan Bar (Pub) hingga Karaoke wajib memiliki dua jenis pajak, yakni Pajak Hiburan (pajak tontonan) dan Pajak Restoran (pajak makanan dan minuman).

"Ini setidaknya bisa juga bisa menjadi solusi saat terjadi polemik seperti sekarang, ikhwal protes kenaikan pajak hiburan yang tinggi. Disamping itu, dengan pengenaan dua jenis pajak tersebut, Bapenda tentunya memiliki pontensi pajak baru dan bisa mencegah kebocoran pajak hiburan, disamping bisa lebih efektif mendongkrak pemasukan pajak restoran pada usaha-usaha hiburan," paparnya.

Sebaliknya, lanjut Zul, bagi para pengusaha, tentunya mereka juga bisa lebih ringan menerapkan kewajibannya terhadap para konsumen selaku subyek pajak karena aturannya sudah cukup jelas.

"Termasuk bagi usaha karaoke, yang selama ini dikenakan pajak hiburan 25 pesen (tarif pajak lama) itu hanya pemakaian room karaokenya. Sedangkan untuk pajak restorannya hanya senilai 10 persen. Jangan lagi digabung langsung seperti selama ini, kasihan pengusahanya, jelas dirugikan karena makanan dan minumannya praktis dikenakan pajak 25 persen dari total penjualan akhir," tegas Zul.

Sementara itu, Kepala Bapenda Makassar, Firman Pagarra mengatakan kenaikan pajak hiburan sudah disetujui di legislatif. Menurutnya, pajak hiburan menjadi konsen dari dewan.

"Jadi kemarin waktu penetapan perda yang baru terkait penetapan pajak dan retribusi daerah itu dari pihak legislatif itu mengusulkan adanya kenaikan maksimal di pajak hiburan,"katanya.

Meski begitu, kenaikan pajak hiburan ini tidak serta merta diberlakukan begitu saja. Harus tetap berkoordinasi dengan pihak legislatif dan melihat kondisi daerah lainnya.

"Tapi tentu saja kami melihat dari berbagai kondisi yang terjadi di seluruh indonesia, jadi kami akan menyikapi juga mengenai hal ini dan kami akan berkoordiansi dengan pihak legislatif mengenai peningkatan pajak 75 persen. Semua UU," pungkasnya. (Ikbal/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan