Salah satu faktor yang berkontribusi pada inflasi hijau adalah permintaan yang meningkat untuk logam dasar dan mineral tertentu yang digunakan dalam teknologi berorientasi lingkungan.
Sebagai contoh, logam-logam seperti tembaga, litium, dan kobalt menjadi lebih diminati karena kebutuhan yang meningkat dalam teknologi berkelanjutan, jauh melampaui permintaan untuk teknologi yang kurang ramah lingkungan.
Sebagai contoh konkret, perbandingan antara kendaraan listrik yang membutuhkan lebih banyak mineral dibandingkan dengan kendaraan konvensional, atau pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai yang memerlukan ketersediaan tembaga dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas.
Hal ini mencerminkan dampak inflasi hijau yang disebabkan oleh permintaan yang meningkat untuk logam-logam tersebut dalam konteks teknologi berkelanjutan. Kenaikan harga logam dasar dan mineral ini terjadi karena tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan yang memadai.
Dalam upaya untuk meningkatkan pasokan, seringkali diperlukan waktu yang cukup lama, yakni antara lima hingga sepuluh tahun, untuk mengembangkan tambang baru. Sebagai contoh, terdapat lonjakan harga yang signifikan pada litium, dengan kenaikan sebanyak 1.000 persen antara tahun 2020 dan 2022.
Lalu, Apakah Isu Greenflation Merupakan Isu Recehan Untuk Indonesia?
Saat ini, Indonesia sedang aktif mendorong transisi ke arah keberlanjutan, sejalan dengan target mencapai emisi bersih pada tahun 2060. Salah satu fokus utama dalam upaya ini adalah meningkatkan pemanfaatan sumber energi berkelanjutan.