FAJAR.CO.ID — Kekalahan Kerajaan Bone di Passempe pada tahun 1644 atas Kerajaan Gowa merupakan salah satu peristiwa menyedihkan dan memperihatinkan.
Saat itu, pemangku kerajaan tidak bisa lagi memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Bahkan banyak yang menjadi abdi orang Wajo tanpa kompensasi.
Sejarahwan Leonard Y Andaya menjelaskan, ketika Arumpone La Madaremmeng digiring ke Gowa dari pelariannya di Luwu, saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, secara diam-diam kembali ke Bone dan dengan cepat menghimpun kekuatan melawan Gowa.
Mendengar kabar ini, Karaeng Gowa kembali mengumpulkan pasukan dan mengajak Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo dan Datu Luwu untuk ikut serta menyerang Bone.
Karaeng Cenrana ditunjuk memimpin ekspedisi ini. Mereka berangkat lewat laut ke Salangketo dan kemudian berjalan menuju Bone. Perang kedua ini terjadi di Passempe pada tahun 1644, sekali lagi Bone ditaklukkan oleh kekuatan yang amat besar ini.
Pemimpin utama Bone, La Tenriaji Tosenrima, Arung Kung dan Daeng Pabila, ditahan dan dibawa ke Gowa.
Karena Tobala tidak memihak saat perang, dia dapat terus memangku jabatan di Bone. Gowa mempertegas kekuasaan terhadap Bone dan menurunkan status Bone dari “daerah bawahan” menjadi “budak” Gowa.
Seluruh keistimewaaan yang telah dinikmati Bone dicabut dan seluruh negeri ditempatkan sebagai abdi Gowa. Untuk mencegah pemberontakan selanjutnya di Bone, seluruh bangsawan diasingkan ke Gowa (Speelman 1670:728v; Sejarah Bone [t.t]:124).
Setelah kemenangan ini, Karaeng Gowa, Arung Matoa Wajo dan Datu Luwu bertemu di Baruga Buliya dan memperbaharui Perjanjian Topaceddo, yang dikenal dalam masyarakat Bugis sebagai “singkérru’ Patolae”.