FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Money politic sulit dihilangkan di dalam demokrasi Indonesia. Praktik culas ini menjadi "penyakit' dalam setiap pemilu.
Meski pengawasan terus dilakukan, selalu saja ada celah. Beragam modus para calon anggota legislatif (caleg) untuk menyogok pemilih. Akibatnya, masyarakat menjadi pragmatis. Jika ada sogokan, caleg akan dicoblos.
Akibatnya, efektivitas kampanye caleg berbasis pendidikan politik loyo menghadapi kekuatan uang. Akhirnya, sebaik apapun kualitas caleg, bisa tersingkir dengan serangan fajar.
Masyarakat juga berpikir pragmatis karena nyaris tidak pernah melihat wakil mereka serius memperjuangkan nasib massa pemilih. Kepercayaan masyarakat kepada para wakilnya tergerus sejak lama.
Makanya, pakar politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Adi Suryadi Culla, menilai kondisi sekarang masyarakat tidak memilih lagi berdasarkan rasionalitasnya atau otonominya. Mereka memilih karena beredarnya suap.
"Jadi tidak mendidik masyarakat. Memang masif sekali money politic ini," ujar Adi saat talkshow di Redaksi FAJAR, Selasa, 30 Januari.
Pemicunya, kata Adi, dipengaruhi tingkat kekecewaan atau ketidakpercayaan masyarakat kepada elite. Itu membuat ketidakpedulian masyarakat makin meningkat saat ini. Menurutnya, masyarakat tidak percaya lagi aturan yang telah dibuat.
Masyarakat merasa kehilangan pegangan dan bingung mau percaya kepada siapa. Masyarakat juga sudah tidak percaya dengan sistem yang sangat lemah. Kemudian masyarakat melihat bahwa pelanggaran berulang dari pemilu ke pemilu. Perilaku elite juga tidak berubah. Itu yang membuat masyarakat pragmatis.