Money Politic Sudah Jadi Kultur dan Budaya, KPU Akui Oknum Caleg Susah Ditangkap

  • Bagikan
PEMBICARA.Dari Kiri,koodiv Pusat Data dan Informasi Bawaslu,Alamsyah,Hasruddin Husain,Hasrullah(Moderator)Paling kanan Adi Suryadi Culla selaku Akademisi Unhas, saat tampil sebagai pembicara di acara diskusi Politik Uang,Regulasi dfan pengawasan di lantai 4 Redaksi Harian Fajar Selasa,30 Januari 2024----Foto Nurhadi/Fajar

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Wakil Rekor 1 Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof Hasnawi Haris sepakat memerangi money politic. Jika serius, harus dibersihkan dulu di lingkungan penyelanggara pemilu, Bawaslu dan KPU.

Menurutnya, money politic itu terjadi karena ada hasil dari input sebelumnya.

Namun, menurutnya, money politic sudah menjadi kultur dan budaya. Tidak bisa dihilangkan, sebab masyarakat juga butuh minyak, sembako, dan uang.

Ketika partai politik tidak mampu menjalankan fungsi mengedukasi masyarakat, maka tidak akan mungkin dapat diselesaikan masalah ini.

"Kita akan menunggu berpuluh puluh tahun kemudian kalau ini tidak nyambung," jelasnya

Mantan Dekan Fakuktas Ilmu Sosial (FIS) UNM itu menyebut, salah satu cara menghentikan politik uang bisa menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

"Katakanlah misalnya money politic itu Rp200 ribu dan pemilih 80 ribu. Maka Rp80 ribu kali Rp200 ribu,
hanya Rp16 miliar," katanya.

Jika begitu, masyarakat akan bergembira ketika mau pemilu atau pilkada karena mendapatkan itu. Namun, ia menekankan bahwa ini bisa dilakukan dengan catatan konsistensi penyelanggara dalam pengawasan bahwa tidak
ada money politic di situ.

"Kalau itu bisa digunakan maka aman. Secara nasional memang besar, tetapi kalau pakai APBD setiap kabupaten maka kecil. Kalau ini dilakukan maka pelan-pelan bisa diselesaikan (masalah money politic)," katanya.

Sulit Ditindak

Koordinator Divisi Partisipasi Pemilih (Parmas) dan Sosialisasi, Pendidikan, dan Partisipasi Masyarakat (Sosdiklih) KPU Sulsel Hasruddin Husain, mengatakan caleg atau cakada yang merupakan aktor intelektual politik uang itu sulit ditindaki.

Bahkan tidak akan pernah bisa ditangkap. Mengapa? karena sekarang tidak ada calon yang mau bagi sendiri, sudah by desain.

"Jadi sulit terpenuhi yang namanya orang ditangkap caleg. Kecuali yang menjadi suruhan atau pelaku ikut serta," katanya.

Hal ini kata dia karena calon melihat ada celah dalam aturan undang-undang pemilu.

"Pasal 523 ayat 1 dimanfaatkan pelaku intelektual itu tidak bisa ditangkap pada unsur politik yang karena mereka
paham," ungkapnya.

Sehingga tak mungkin kata dia, peserta pemilu itu terlibat langsung dalam pembagian politik uang. Akan tetapi, menugaskan tim sukses dilpangan.

"Sebab itu saya selalu tekankan bahwa menjadi penyelenggara itu juga harus paham soal by desain," tekannya.
Tentang politik uang ini diatur dalam Undang-undang

(UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 523 ayat 1 dan 2 menekankan bahwa setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu dan masa tenang yang dengan sengaja menjanjikan, memberikan uang, materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung atau tidak langsung diancam pidana penjara maksimal 2-4 tahun dan denda maksimal Rp24-48 juta.

Dia melihat di situ ada celah, karena ada pasal di situ yang berlaku hanya untuk peserta dan tim kampanye yang terdaftar. Sehingga itu dapat menggunakan orang lain.

"Jadi kalau mau hilangkan dulu itu pasal kampanye. Langsung menunjuk orang per orang saja. Siapa pun melakukan (politik uang) langsung ditangkap," ujarnya.(*/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan