Jejak Peradaban Besi dan Nikel Luwu Timur Sulsel, Arkeolog Jelaskan Hubungannya dengan Kerajaan Majapahit

  • Bagikan
Arkeolog Iwan Sumantri memperlihatkan sejumlah badik dan keris.

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Sejak dahulu, Luwu Timur, Sulawesi Selatan dikenal sebagai penghasil besi dan nikel. Tepatnya di Desa Matano, yang berada di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur. Danau Matano, Danau Purba terdalam di Indonesia.

Bahkan kejayaan feronikel di Luwu Timur terkenal hingga Kerajaan Majapahit. Hal itu berdasarkan naskah Negarakertagama, Luwu disebut sebagai penghasil besi yang memiliki kualitas yang tinggi sehingga diekspor ke Jawa.

Sedangkan dalam Lontara I La Galigo, mengisahkan pernikahan putra dari Simpurusiang (raja ketiga Luwu) bernama Anakaji dengan putri Majapahit (Majampai) yang berparas seperti putri Tiongkok (tappacina).

“Produksi besi sudah mulai abad 9-11. Produksi logam yang mengandung feronikel,” kata Arkeolog Iwan Sumantri, kepada Fajar.co.id, Jumat (9/2/2024).

Terdapat 11 penempah besi di Matono. Namun karena lokasi Matano kurang strategis untuk perdagangan, maka besi tersebut dibawa ke Ussu, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur.

“Di Ussu dikelola lebih lanjut. Dibuat badik dan segala macam dan Ussu punya pelabuhan, 12 km dari Malili,” tuturnya.

Logam itu diolah menjadi parang, pedang, hingga badik dan keris. Dalam sejarah panjang kerajaan Luwu hingga dalam teks I La Galigo, dikenallah istilah Bessi to Ussu –besi orang Ussu atau juga bessi Luwu.

Hasil olahan seperti badik dari Luwu diyakini memiliki kualitas lebih tinggi. “Setiap sentimeter mengandung 70 persen nikel. Makanya dia tahan dan berurat-urat,” jelasnya.

Olahan besi yang dihasilkan di masing-masing daerah di Sulsel ternyata juga memiliki perbedaan bentuk. Misalnya antara Makassar, Pangkep, Ajatappareng, Bone dan Luwu.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan