FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya andil besar di balik kemenangan Prabowo-Gibran. Titahnya sangat sakti.
Jokowi dinilai terlalu tangguh sebagai king maker. Sudah dibuktikan pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Solo 2020 lalu.
Jokowi berhasil memenangkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi wali kota. Saat itu, usia Gibran masih belia, 32 tahun.
Berkat tangan dingin Jokowi, elektabilitas Gibran menyalip senior-seniornya di PDIP. Enam bulan jelang pencoblosan Pilkada Solo, elektabilitas Gibran melejit hingga 55 persen. Gibran kemudian memenangkan pilwalkot dengan jumlah 225.451 suara atau 86,5 persen.
Tak hanya Gibran, Jokowi juga berhasil meloloskan mantunya Bobby Nasution menjadi Wali Kota Medan. Pilkada Medan pada 2020 Bobby meraih 393.327 suara. Menang di atas 50 persen.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga punya andil besar atas terpilihnya Kaesang Pangareb jadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Meski perolehan suara PSI masih jauh dari ambang batas parlemen sebesar 4 persen, namun itu tetap dianggap Jokowi berhasil. Hanya saja Kaesang lambat memulai kerja-kerja politiknya.
Puncaknya, ada pada kemenangan Prabowo-Gibran pada pilpres 2024. Pasangan ini meraih suara signifikan di atas 50 persen meski diikuti tiga pasangan. Banyak pihak memprediksi pilpres sulit berlangsung satu putaran jika diikuti lebih dari dua pasangan calon.
Namun lagi-lagi itu berhasil dipatahkan. Prabowo-Gibran yang didukung Jokowi di balik layar, menang telak. Rekapitulasi sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prabowo-Gibran meraih 40,2 juta lebih suara atau 57,29 persen.
Sementara Anies-Muhaimin 17,3 juta suara (24,76 persen), dan Ganjar-Mahfud 12,6 juta suara (17,95 persen). Data itu diambil pada Jumat, 16 Februari, pukul 21.01 WIB. Suara yang masuk 61,92 persen.
Jokowi mungkin satu-satunya orang yang tak pernah kalah dalam kontestasi Pemilu di era Reformasi. Lima kali ikut pemilu, lima kali itu juga menjadi pemenang.
Dua kali pemilihan Wali Kota Solo, satu kali pemilihan Gubernur DKI, dua periode Presiden Indonesia.
Kemenangan Prabowo-Gibran membuktikan Jokowi adalah king maker yang hebat. Di Indonesia, belum ada presiden yang membawa anaknya menjadi kepala negara.
Hanya Megawati yang merupakan anak presiden yang kemudian juga terpilih menjadi kepala negara.
Hanya saja, Megawati menjadi presiden bukan melanjutkan kepemimpinan ayahnya. Ada jarak cukup panjang dari era orde lama, orde baru, ke reformasi.
Kekuatan Jokowi sama seperti dinasti di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara-negara miskin di Afrika.
Afrika merupakan kawasan paling banyak menampilkan fenomena dinasti politik. Kepala negara berganti dari ayah ke anak atau saudara melalui proses pemilu. Misalnya di Gabon, Togo, Botswana, Kongo, dan Kenya.
"Negara demokrasi yang lebih maju juga ada dinasti politik. Fenomena ini ditemui di Amerika Serikat dan Kanada," ujar Analis politik Internasional Universitas Hasanuddin (Unhas), Ishaq Rahman, Jumat, 16 Februari.
Di Amerika Serikat setidaknya delapan presiden merupakan dinasti politik yang berasal dari keluarga berbeda.
Di negara ini, politisi yang memiliki garis dinasti politik umumnya berasal dari Partai Republik. Sementara politisi Partai Demokrat mayoritas dari rakyat biasa.
Sementara di Kanada, Perdana Menteri saat ini, Justin Trudeau, adalah anak dari Pierre Trudeau, yang menjabat Perdana Menteri pada 1968-1979 dan 1980-1984. "Jadi banyak (dinasti) di negara demokrasi," katanya.
Dinasti yang dikenal di seluruh dunia salah satunya adalah Kennedy. John F. Kennedy menjadi presiden termuda AS pada usia 35 tahun. Ketika menjabat sebagai presiden.
Ishaq mengatakan, keluarga politik biasanya merupakan bentuk bangunan sosial yang terbentuk akibat adanya proksimiti (kedekatan) dalam anggota keluarga.
"Misalnya, kalau ayah atau ibu (apalagi keduanya) menekuni profesi tertentu, lumrah jika profesi tersebut juga dilakoni oleh anak-anak atau cucunya. Hal yang sama juga terjadi di politik," katanya.
Terkait fenomena king maker, menurut Ishaq, itu tidak lazim dalam demokrasi liberal, karena praktik ini umumnya hadir di negara-negara yang sistem politiknya masih dipengaruhi figur.
"Atau akibat lemahnya kontrol oposisi (lemahnya check and ballances)," terangnya.(*/fajar)