FAJAR.CO.ID -- Jangkar telah diturunkan. Dari kapal yang membawanya dari Pulau Lombok, Alfred Russel Wallace memandangi Makassar dengan kepuasan yang luar biasa.
Naturalis asal Inggris itu tiba di Makassar setelah meninggalkan Lombok pada 30 Agustus 1856 silam. Perasaannya menggebu dalam perjalanan di kapal selama tiga hari. Ingin lekas melihat Makassar.
Rasa itu telah ditahannya sejak Februari. Sangat ingin mengunjungi Makassar. Di benaknya, pasti akan bertemu hal baru dan menarik.
Sudah dua tahun Wallace melakukan ekspedisi di Jazirah Melayu. Berbagai sampel flora dan fauna dikumpulkannya. Dicatat, lalu dikirim ke sponsor perjalanannya yang berada di Inggris.
Benar saja, penantiannya tak sia-sia saat pertama kali menjejakkan kaki di pantai Makassar. Wallace menggambarkan pesisir Sulawesi ini memiliki dataran rendah dan datar.
Pepohonan dan desa-desa menyembunyikan bagian dalam jazirah Sulawesi yang eksotik. Hamparan sawah membentang dengan latar belakang beberapa bukti yang tidak terlalu tinggi.
Wallace tiba di Makassar saat musim penghujan. Kabut terus menerus menutupi daratan. Dataran tinggi di tengah semenanjung, tak dapat dilihatnya. Begitu juga dengan Puncak Bantaeng yang terkenal di selatan Jazirah Sulawesi
Makassar merupakan kota Belanda pertama yang dikunjunginya. Wallace begitu kagum pada keindahan kota ini. Seperti sepotong kota yang indah di Eropa.
Bahkan, Makassar dipujanya lebih indah dan bersih dibandingkan kota mana pun yang pernah dilihatnya di wilayah Timur Nusantara.

Alfred Russel Wallace/ibtimes
Alfred Russel Wallace menggambarkan dan merekam keindahan Sulawesi dan merekamnya dengan apik di bukunya berjudul "The Malay Archipelago".
Makassar menerapkan peraturan Belanda dalam hal tata kota yang dinilai mengagumkan. Semua rumah-rumah Eropa harus dijaga agar tetap putih bersih.
Setiap orang wajib menyirami jalanan di depan rumahnya pukul empat sore. Jalan-jalan harus bersih dari sampah. Saluran air yang tertutup membawa semua kotoran ke dalam saluran drainase besar yang terbuka.
Saat air pasang, air laut dibiarkan mengalir ke saluran drainase terbuka. Saat surut, dibiarkan mengalir keluar dan membawa semua limbah ke laut.
Sahabat Bapak Evolusi, Charles Darwin itu mendeskripsikan Makassar dalam bukunya "The Malay Archipelago" dengan sangat jelas.

Ruas jalan Makassar, terutama di wilayah pesisir pantainya, tidak banyak berubah dengan kondisi saat ini. Wallace menggambarkan ada satu jalan sempit panjang di sepanjang tepi laut yang kini dikenal sebagai Jalan Penghibur.
Sejak Belanda menguasai Makassar, ruas jalan itu telah dikhususkan untuk kepentingan bisnis. Sebagian besar ditempati oleh kantor dan gudang pedagang Belanda dan Cina. Ada juga toko atau pasar asli.
Kawasan perdagangan meluas sampai ke arah utara sepanjang lebih dari satu mil. Perluasan kawasan perdagangan itu secara bertahap mulai menyatu de rumah-rumah penduduk lokal.
Dituturkan Wallace, rumah-rumah penduduk asli itu memang tampak menyedihkan dibanding rumah-rumah bergaya Eropa milik orang-orang Belanda. Atau milik pedagang lainnya.
Akan tetapi, meskipun kondisinya tampak menyedihkan, rumah-rumah penduduk lokal dibuat agar tetap memiliki penampilan yang rapi. Hal itu karena semuanya dibangun tepat pada garis lurus jalan. Umumnya, pohon-pohon buah yang rindang menaungi setiap pinggir.
Penduduk laki-laki Bugis dan Makasar kerap berkumpul di sepanjang ruas jalan ini. Mereka biasanya mengenakan celana panjang berbahan katun. Panjangnya sekitar dua belas inci.
Celana itu hanya menutupi dari pinggul hingga separuh paha. Para pria Makassar dan Bugis itu juga umumnya mengenakan sarung Melayu dengan motif kotak-kotak.
Mereka mengenakan sarung dengan melilitkan di pinggang. Ada juga yang sekadar menyelempangkannya di bahu.
Sejajar dengan jalan di sepanjang pantai, ada dua jalan pendek yang membentuk kota tua Belanda, dan dikelilingi oleh gerbang. Kawasan ini terdiri dari rumah-rumah pribadi.
Di ujung selatannya terdapat benteng, gereja, dan jalan tegak lurus ke pantai, yang berisi rumah Gubernur dan pejabat utama.
Di sekitar benteng atau Fort Rotterdam yang berada di tepi pantai, terdapat jalan panjang lainnya. Ruas jalan itu dipenuhi gubuk-gubuk penduduk asli dan banyak rumah pedesaan para pedagang dan saudagar.
Sawah datar yang gundul dan kering di musim kemarau, terbentang di sekeliling kawasan rumah pedesaan di sekitar benteng. Sawah itu ditutupi tunggul berdebu dan rumput liar.
Kondisi ini sangat berbeda saat musim hujan yang memberikan pemandangan tanaman yang hijau melimpah.
Wallace membandingkan kondisi Makassar dengan Lombok dan Bali yang telah dikunjunginya. Penampakan persawahan di Makassar yang tandus pada musim kemarau sangat kontras dengan tanaman tahunan di Lombock dan Bali.
Meskipun iklim dan cuacanya mirip, namun Kondisi di Bali dan Lombok tidak sekering di Makassar. Dua daerah ini telah memiliki sistem penanaman yang rumit dengan sistem irigasi menghasilkan efek mata air abadi.
Di pinggir jalan Makasar terdapat sebuah fregat bagus dengan 42 senjata yang menjadi penjaga keamanan . Ada juga sebuah kapal uap perang kecil dan tiga atau empat kapal pemotong kecil yang digunakan untuk berlayar mengejar para perompak yang menduduki lautan ini.
Wallace juga menggambarkan ada beberapa kapal dagang berlantai persegi, dan dua puluh atau tiga puluh kapal pribumi dengan berbagai ukuran.
Saat kunjungannya ke Makassar, Wallace membawa surat perkenalan kepada seorang pria Belanda bernama Tuan Mesman. Juga kepada seorang penjaga toko Denmark yang bisa berbahasa Inggris dan berjanji akan membantu mencarikannya tempat tinggal yang sesuai dengan kegiatannya.
Wallace sempat merasa tidak nyaman berada di pusat kota Makassar. Sewa penginapannya juga dinilainya mahal.
Dia kemudian pindah ke sebuah rumah bambu yang kecil pada akhir pekan. Mr Mesman yang menawarkan rumah itu kepadanya.
Letaknya sekitar dua mil jauhnya, di sebuah perkebunan dan pertanian kopi kecil, dan sekitar satu mil di luar rumah pedesaan milik Tuan M. Lokasinya di daerah yang kini dikenal dengan nama Mamajang.
Rumah itu terdiri dari dua ruangan yang ditinggikan sekitar tujuh kaki di atas tanah. Bagian bawahnya sebagian terbuka dan berfungsi baik untuk menguliti burung dan sebagian lagi digunakan sebagai lumbung padi.
Ada dapur dan toiletnya. Beberapa pondok juga berdiri di dekatnya. Pondok itu ditempati oleh orang-orang yang bekerja di rumah Mr Mesman. (*/rif)