FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Kasus meninggalnya AAR (14), salah satu santri Pondok Pesantren Tahfizhul Quran (PPTQ) Al-Imam Ashim Kampus II, Kota Makassar, berbuntut panjang.
Berdasarkan informasi yang didapatkan fajar.co.id, pihak keluarga AAR yang menjadi korban berencana akan melanjutkan kasus ini ke rana hukum selanjutnya.
Hal tersebut disampaikan Paman AAR, Rizaldi Jamaluddin saat dikonfirmasi media, Kamis (22/2/2024).
Dia mengatakan pihak keluarga korban berencana bakal menempuh jalur hukum secara perdata atas dugaan kelalaian pihak Ponpes.
"Mungkin kita bakal mengambil langkah-langkah hukum selanjutnya, di pesantrennya. Jadi memang kita ada rencana untuk menggugat secara perdata pesantrennya," ujar Rizaldi kepada awak media.
Dikatakan Rizaldi, gugatan tersebut bakal dilayangkan keluarga besar AAR bukan tanpa alasan.
Rizaldi bilang, hal itu sebagai pengingat agar kejadian serupa tidak kembali terjadi dan menimpa santri lainnya.
"Semoga tidak terjadi lagi kasus yang demikian terhadap santri yang lain dimanapun," Rizaldi menuturkan.
Saat ditanya soal kesepakatan damai, Rizaldi memberikan bantahan.
Meskipun dia menyebut, saat AAR dirawat di rumah sakit beberapa kali orang tua pelaku datang untuk menempuh jalan damai.
"Tidak ada (damai), memang beberapa hari setelah dirawat ini korban, orang tua pelaku beberapa kali datang ke rumah sakit. Yang dari pelaku ini selalu cari cara untuk masuk menempuh jalur damai," sebutnya.
Rizaldi lanjut menuturkan, upaya damai memang pernah dirembukkan oleh keluarga besar korban. Namun, belum menuai kesepakatan dari seluruh pihak keluarga hingga saat ini.
Ada beberapa persyaratan damai yang ditawarkan pihak keluarga disebut hingga saat ini belum ada titik terangnya.
"Jadi setelah bangun komunikasi dari pesantren, sebenarnya memang ada niatan damai, kalau dia (keluarga pelaku) menyetujui pernyataan damai itu yang kita tuangkan dalam surat perjanjian," tutur Rizaldi.
"Masih berembuk, kalaupun misalnya dia menyetujui dengan apa yang kita sodorkan di surat perjanjian. Tapi takdir berkata lain, dia (korban) meninggal. Secara otomatis itu (damai) batal, dan memang belum ada (kesepakatan kedua belah pihak damai), tidak ada hitam diatas putih, baru rancangan," lanjutnya.
Adapun dari kejadian ini, Rizaldi berharap agar proses hukum yang menimpa keponakannya bisa berjalan dengan adil, mengingat orang tua dari pelaku merupakan anggota Polri.
Termasuk, Rizaldi juga berharap agar pihak PPTQ Al-Imam Ashim turut bertanggungjawab atas kasus tersebut agar tidak kembali terulang dikemudian hari.
"Kita berharap, proses hukumnya betul-betul dapat keadilan dari pihak keluarga, orangtuanya pelaku ini anggota Polri, dan nantinya (proses hukum) bisa berjalan kredibel," harapnya.
Dia meminta pihak PPTQ juga menunjukkan tanggung jawab. Paling tidak, kata Rizaldi, ada tanggung jawab dan tidak cuci tangan terkait masalah tersebut.
Dihubungi terpisah, Humas Ponpes PPTQ Al-Imam Ashim, Jamal mengatakan, pihaknya belum mengambil sikap terkait rencana keluarga korban yang akan melanjutkan kasus itu di ranah hukum.
"Saya belum bisa ambil sikap tetang itu, saya tidak berani menyampaikan hal itu karena tentunya kami dari pihak pondok bagaimana memberikan kepada pihak kepolisian untuk menjalankan tugasnya," kata Jamal.
Lanjutnya, pihaknya selalu berupaya bagaimana membangun komunikasi kepada anak-anak di PPTQ.
"Jadi mungkin tentang hal itu saya belum berani menyatakan sikap terkait hal yang kita sampaikan," Jamal menambahkan.
Jamal menyampaikan seluruh anak yang sedang menimba ilmu di PPTQ Al-Imam Ashim merupakan anak didik bersama.
Adapun selama korban dirawat di rumah sakit, pihak PPTQ disebut selalu hadir untuk memantau perkembangan korban.
Bahkan saat korban meninggal dunia pun pihak PPTQ ikut mendatangi kediaman korban.
Jamal mengatakan sejauh ini komunikasi antara pihak PPTQ dan keluarga korban terjalin dengan baik.
"Jadi komunikasi kami Alhamdulillah berjalan, kami juga sering datang selama proses perawatan di rumah sakit kami selalu berada di sana menjenguk ananda (korban), kemudian kami juga stay 24 jam secara bergilir di rumah sakit," ungkap Jamal.
"Membangun komunikasi sampai sekarang ini, kita juga hadir di rumah duka sebagai bentuk, kami juga termasuk keluarga pondok juga berduka, bukan memposisikan bahwa kami merasa bahwa ananda itu (korban) bagian dari keluarga kami," sambungnya.
Sebelumnya diberitakan, kasus ini sudah dalam penanganan Unit PPA Satreskrim Polrestabes Makassar.
Terduga pelaku telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Undang-undang (UU) Perlindungan Anak, Pasal 80 Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002.
Pelaku berinisial AW (15) juga diketahui dalam waktu dekat akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan untuk proses hukum selanjutnya.
Hal itu diungkapkan Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Devi Sujana saat dikonfirmasi, Rabu (21/2/2024) kemarin.
"Pasal yang diterapkan Pasal 80 (UU Perlindungan Anak). Dan untuk penanganan tetap sama dengan orang dewasa, cuma perlakuannya saja beda. Perlakuannya harus dilimpahkan karena waktu penanganan kami cuma 15 hari dan selesai," sebut Devi.
"Kita (penyidik) juga sudah koordinasi langsung dengan Kejaksaan agar mempermudah untuk pemberkasan," Devi membeberkan.
Diketahui, AW nekad menganiaya juniornya berinisial AAR (14) di pondok pesantren tersebut hingga dilarikan ke rumah sakit (RS) Grestelina Makassar, pada 15 Februari 2024 lalu.
Namun dalam proses perawatan medis korban meninggal dunia, Selasa (20/2/2024) dini hari kemarin.
Devi mengungkapkan, motif penganiayaan AW terhadap juniornya karena ketersinggungan.
Korban saat itu mengetuk jendela perpustakaan di pondok pesantren tempatnya belajar itu yang ternyata pelaku berada di situ.
"Pelaku merasa tersinggung, korban saat itu mengetuk-ngetuk kaca jendela perpustakaan, dimana pelaku sedang ada di situ," terangnya.
Sebelum melakukan penganiayaan, berdasarkan keterangan pelaku dia menjelaskan sempat menanyakan maksud korban mengetuk-ngetuk kaca jendela perpustakaan tersebut.
Korban yang tak menjawab pun langsung dianiaya pelaku menggunakan tangan kosong hingga dilarikan ke rumah sakit.
"Jadi sempat ditanya kenapa kamu ketuk-ketuk, korban hanya senyum lalu dipukul. Melalukan penganiayaan, seperti menyikut, kemudian dengan lutut, dan memukul di belakang telinga," bebernya.
Adapun dari keterangan dokter, Kata Devi, korban mengalami luka pecah di bagian belakang kepala. Hal itulah yang menyebabkan korban meninggal dunia.
"Dari keterangan dokter ada luka pecah di bagian belakang kepala. Itu mungkin diperkirakan rusak di otak kecil yang menyebabkan gagal napas," pungkasnya.
(Muhsin/fajar)